Mohon tunggu...
TALITHA SALSABILA
TALITHA SALSABILA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa PWK 2023 Universitas Jember

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penanganan Rumah Tidak Layak Huni Kabupaten Jember

29 September 2023   17:44 Diperbarui: 29 September 2023   17:48 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat tinggal mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif sehingga terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus kehidupan manusia. Dalam UU No. 1 Tahun 2011 dijelaskan pengertian dari Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat. Dijelaskan pula Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Tempat tinggal merupakan salah satu kriteria layak atau tidaknya kehidupan masyarakat. Tanpa tempat tinggal yang layak, mereka tidak akan merasa nyaman.

Dilansir dari perkim.id, ada beberapa penyebab timbulnya rumah tidak layak huni, yang pertama karena adanya paradigma rumah sebagai komoditi. Pada era orde baru, kebijakan perumahan dikeluarkan oleh pemerintah yang diarahkan sebagai alat redistribusi pusat pertumbuhan wilayah dan juga bertujuan untuk mengurangi kemiskinan. Namun, lama-kelamaan fungsi rumah justru beralih sebagai obyek investasi dan barang komoditi, sehingga harga rumah melambung tinggi. Hal ini dikarenakan gagalnya strategi industrialisasi dan adanya krisis ekonomi. Harga rumah yang meningkat menyebabkan masyarakat miskin yang ada di kota semakin sulit menghadapi situasi ini. Apalagi, akses kepada sumberdaya kunci pembangunan kota tidak bisa mereka capai dengan baik karena persyaratannya ternyata hanya dapat dipenuhi oleh mereka yang mempunyai modal. Oleh karena itu, masyarakat miskin tidak akan pernah dapat mengakses sumber daya kunci tersebut secara langsung.

Poin kedua adalah adanya krisis ekonomi. Pada pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi meningkatkan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Saat situasi ini, pemerintah pusat dan daerah belum siap, apalagi ditambah dengan kondisi pandemi yang menyebabkan penduduk miskin di Indonesia terus bertambah. Hal ini tentu akan mengakibatkan jumlah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) semakin bertambah. Yang ketiga adalah mobilitas penduduk. Pertumbuhan penduduk kota yang berjalan sangat cepat tanpa diimbangi dengan pembangunan kapasitas kota dalam berbagai aspek, seperti peraturan dan perencanaan akan mengakibatkan kesenjangan antar kota besar dan kota kecil. Masyarakat yang berpindah ke kota tanpa adanya modal pengetahuan yang baik hanya akan menyebabkan kepadatan penduduk di kota. Tingginya mobilitas penduduk tanpa penambahan lapangan pekerjaan akan mengakibatkan pengangguran semakin tinggi. Sehingga jika negara tidak mampu mengantisipasi hal tersebut tentunya akan semakin merebak perumahan dan permukiman tidak layak huni.

Kabupaten Jember sendiri masih ada daerah yang tergolong rumah tidak layak huni. Penyebab umumnya adalah karena mahalnya lahan yang dapat dibangun dengan kriteria rumah layak huni. Akhirnya, masyarakat yang mampu dari segi ekonomi terus menginvestasikan di bidang lahan dan menindas warga yang kurang mampu. Menurut data BPS Kabupaten Jember, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan/GK) di Jember pada bulan Maret 2022 mencapai 232,73 ribu jiwa. Jumlah ini berkurang sebesar 24,36 ribu jiwa jika dibandingkan dengan kondisi Maret 2021 yang mencapai 257,09 ribu jiwa. Keadaan dalam kehidupan masyarakat berpenghasilan rendah menyebabkan lemahnya akses mereka dalam menentukan kehidupan pribadi mereka sendiri, seperti dari segi sosial, ekonomi, maupun yang lainnya. Masyarakat yang memiliki penghasilan yang tergolong rendah cenderung mempunyai pola pikir berbeda dari masyarakat yang berkecukupan dari segi apapun, terutama dalam ketersediaan kebutuhan ekonomi. Kebutuhan papan yang merupakan dasar kriteria layak dalam kehidupan harus sangat diperhatikan. Hal ini bisa dilakukan dengan perencanaan pembangunan perumahan dan membantu pola pikir mereka dalam memenuhi kebutuhan perumahan.

Dilansir dari Dinas Kominfo Provinsi Jawa Timur, anggota komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Jawa Timur Deni Prasetyo meminta agar ada sinergitas dari Pemprov dan pemkab Jember untuk mengatasi keberadaan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di kabupaten Jember. Hal ini dilakukan agar Kabupaten Jember zero dari RTLH. Ia menambahkan bahwa selama pandemi covid-19 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Jember sempat terkontraksi dan minus 2,98 persen pada tahun 2020. Dibutuhkan cukup waktu untuk melakukan pemulihan sehingga diharapkan bantuan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan tersebut. Dilansir dari PPID Kabupaten Jember, Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) merupakan salah satu program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah dengan cara merehabilitasi atau merenovasi rumah penduduk miskin atau kurang mampu dengan kondisi yang kurang layak digunakan sebagai tempat hunian. Sasaran rehab RTLH adalah rumah penduduk miskin yang sudah memiliki PBB dan tanah yang digunakan tidak dalam sengketa yang kondisinya buruk dan kurang layak. Tahun 2023 Pemerintah Kabupaten Jember mengalokasikan Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) sebanyak 86 Unit dengan anggaran per unit rumah sebesar 30jt rupiah. Anggaran tersebut bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) APBD Kabupaten Jember. Proses pengerjaannya dilakukan secara swakelola berbasis masyarakat, yang mana dana disalurkan langsung ke rekening penerima bantuan secara 2 tahap, tahap pertama 60% dan tahap ke dua 40%. Dalam hal proses pelaksanaan program penerima bantuan di damping oleh tenaga fasilitator lapangan (TFL) yang sudah direkrut oleh Dinas untuk membantu proses Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) mulai dari proses verifikasi, pencairan hingga proses perbaikan selesai.

Secara umum, ada beberapa syarat pemberian bantuan untuk RTLH. Pertama, warga tersebut terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), fotokopi KTP, fotokopi kartu keluarga, foto rumah tampak depan, belakang, kanan, kiri, fotokopi surat keterangan kepemilikan tanah, surat keterangan tidak berstatus PNS/TNI/POLRI/BUMN, surat keterangan hanya memiliki satu-satunya rumah yang ditempati, dan surat keterangan belum pernah memperoleh bantuan rehabilitas sosial tidak layak huni. Baru-baru ini, Pemerintah Kabupaten Jember, khususnya Lurah Gebang mengunjungi penerima bantuan bedah rumah bagi RTLH dari Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) dan Cipta Karya Kabupaten Jember. Bantuan bedah rumah ditujukan untuk 2 rumah dan seluruh pengerjannya dilakukan oleh DPRKP dan Cipta Karya. Rumah tersebut sudah rampung 100% sehingga dapat langsung ditempati oleh pemiliknya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun