Mohon tunggu...
TALITHA SALSABILA
TALITHA SALSABILA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa PWK 2023 Universitas Jember

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konflik Relokasi Rempang Eco City

24 September 2023   18:44 Diperbarui: 24 September 2023   18:48 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pulau Rempang adalah salah satu pulau yang berada di Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya berada sekitar 3 kilometer di sebelah tenggara Pulau Batam. Dikutip dari Kompas.id, Pulau Rempang memiliki luas wilayah 16.583 hektar yang terdiri dari dua kelurahan, yakni Rempang Cate dan Sembulang. Keduanya masuk dalam wilayah Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 7.512 jiwa yang tinggal di pulau Rempang. Tokoh warga Pulau Rempang, Gerisman Ahmad mengatakan, di Pulau Rempang terdapat 16 kampung tua atau permukiman warga asli. Warga asli tersebut terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat yang diyakini telah bermukim di Pulau Rempang sejak tahun 1834. Menurut Kemendikbud, Pulau Rempang dan Pulau Galang awalnya tidak masuk dalam Otorita Batam dan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah Riau. Namun setelah dikeluarkannya Kepres No. 28 Tahun 1992, wilayah kerja Otorita Batam diperluas meliputi wilayah Pulau Batam, Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau sekitarnya. Pulau Rempang terhubung dengan pulau-pulau lain seperti Pulau Batam, dan Galang melalui Jembatan Barelang. Jembatan ini adalah jembatan yang saling sambung-menyambung dan dibangun untuk memperluas Otorita Batam sebagai regulator daerah industri Pulau Batam.

Belakangan ini ramai diperbincangkan perihal pengembangan kawasan ekonomi baru proyek Rempang Eco City. Pasalnya, banyak warga yang menolak keras relokasi dari wilayah pembangunan. Warga menolak lahannya digunakan untuk pembangunan Rempang Eco City. Bentrok sempat terjadi antar warga dengan aparat gabungan dari TNI, POLRI, dan Direktorat Penanganan Aset Badan Pengusaha Batam. Rempang Eco City sebenarnya merupakan salah satu proyek yang menjadi prioritas Jokowi yang masuk ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini dibangun untuk kebutuhan industri, pariwisata, perdagangan, dan lainnya. Sebenarnya, pemerintah melakukan relokasi ini untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang. Dilansir dari Kompas.com, Rempang Eco City digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) yang kepemilikannya dikaitkan dengan pengusaha nasional Tommy Winata, konglomerat pemilik Grup Artha Graha. Dengan adanya Rempang Eco City, ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080. Namun rencana tersebut mendapat penolakan warga sehingga terjadi bentrokan, bahkan anak sekolah yang masih melakuan aktivitas belajar mengajar terpaksa dihentikan.

Jika melihat ke belakang, sebenarnya masalah lahan di Rempang sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Kawasannya sudah dihuni masyarakat lokal dan pendatang jauh sebelum Badan Pengusaha Batam terbentuk. Namun, masyarakat yang tinggal di daerah tersebut tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah karena sebagian besar lahannya merupakan kawasan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dikutip dari Kompas.com, BP Batam sendiri baru terbentuk pada Oktober 1971 yang diinisisasi BJ Habibie dengan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973. Konflik lahan di Pulau Rempang mulai terjadi tahun 2001. Pemerintah pusat dan Badan Pengusaha Batam kala itu menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada perusahaan swasta yang kemudian berpindah tengan ke PT Makmur Elok Graha. Masalah kepemilikan lahan makin ramai terjadi. Di satu sisi, masyarakat nelayan yang puluhan tahun menempati Pulau Rempang sulit mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan. Memang pada saat itu belum muncul konflik lahan, karena perusahaan yang menerima HPL belum masuk untuk mengelola bagian Pulau Rempang. Konflik mulai muncul saat pemerintah pusat, BP Batam, dan perusahaan pemegang HPL PT Makmur Elok Graha mulai menggarap proyek bernama Rempang Eco City yang digadang-gadang bisa menarik investasi besar ke kawasan ini. Konflik lahan daerah Rempang tak bisa dihindari. Mayoritas masyarakat masih tetap ingin mempertahankan lahan di daerah tersebut walaupun pemerintah sudah menyatakan bahwa mereka tidak mempunyai sertifikat kepemilikan lahan. Dilansir dari cncnindonesia, Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengatakan, lahan pembangunan Rempang Eco City seluas 2.000 hekatre (ha), merupakan hasil kesepakatan antara PT MEG (Makmur Elok Graha) dengan Xinyi Glass Holdings Ltd., Juli 2023. Sejak 2004, PT MEG telah dipilih oleh Pemerintah Kota (Pemko) Batam dan BP Batam untuk mengelola 17.600 ha per lahan di Pulau Rempang hingga hari ini. Termasuk 10.028 ha hutan lindung di dalamnya. Perusahaan itu mendapat konsesi selama 80 tahun. Kepala BP Batam Muhammad Rudi juga mengatakan, dari total 2.000 ha lahan, ada tiga perkampungan yang tercakup dalam kawasan pembangunan pabrik, sehingga harus direlokasi. Oleh sebab itu, sejak Juni 2023 BP Batam sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang akan direlokasi terkait hak-haknya yang akan diberikan pemerintah.

Pemerintah menjelaskan, masyarakat yang setuju kawasannya direlokasi akan mendapat rumah baru tipe 45 serta lahan seluas 500 m2 per kepala keluarga yang telah diberi sertifikat kepemilikan lahan oleh pemerintah. Dilansir dari cnnindonesia, kepala BP Batam Muhammad Rudi mengatakan, 91 warga di tiga kampung yang terdampak pembangunan 2.000 ha Rempang Eco City telah sepakat relokasi yang total keseluruhannya mencapai 700 KK. Perihal perumahan, pemerintah tidak akan hanya membangun 700 rumah di kawasan itu, tetapi juga membangun perkampungan baru dengan 2.700 unit rumah beserta infrastruktur lainnya, seperti sekolah atau rumah ibadah. Karena mayoritas pencaharian masyarakat daerah Rempang adalah nelayan, pemerintah juga sudah menyiapkan pelabuhan khusus pengangkut barang dan penyimpan sampan.

Dibalik semua janji pemerintah tersebut, dampak konflik tidak bisa dihindari. Dilansir dari majalah.tempo, setidaknya 20 warga sipil cedera akibat bentrokan yang terjadi, sebanyak 10 siswa SMA dan guru dilarikan ke rumah sakit karena terkena tembakan gas air mata. Penyelidikan awal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan kekuatan penggunaan aparat keamanan yang berlebihan dalam penanganan konflik daerah tersebut. Dilansir dari majalah.tempo, penyelidikan Ombudsman RI menemukan indikasi maladministrasi oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP) dan Pemerintah Kota Batam. BP Batam mengalokasikan sekitar 16.500 hektare lahan di pulau itu untuk Rempang Eco City, berupa kawasan industri, perdagangan, hingga wisata. Pengalokasian lahan itu dinilai melanggar aturan karena Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional belum mengeluarkan sertifikat hak pengelolaan lahan kepada BP Batam. Jika masalah sertifikat kepemilikan lahan, seharusnya itu bukan menjadi kesalahan warga. Pemerintah bisa dinilai lalai memberikan akses kepada warga Rempang untuk memperolah hak mereka. Dilansir dari majalah.tempo, pemerintah sudah puluhan tahun memungut pajak bumi dan bangunan yang dikuasai warga. Penduduk Rempang juga sebenarnya sudah berkali-kali berusaha mengurus sertifikat kepemilikan lahan mereka, namun selalu ditolak oleh badan pertahanan. Melihat betapa kerasnya warga Rempang menolak relokasi wilayah Rempang, Komnas HAM menyatakan bahwa negara tidak seharusnya melanggar hak atas tempat tinggal yang layak. Pemerintah juga tidak seharusnya memaksa pengosongan pemukiman penduduk karena itu merupakan bentuk pelanggaran HAM. Sebelum ada persetujuan dari masyarakat, harus dilakukan penangguhan terhadap pembangunan Eco City. Jika tidak, konflik bisa terjadi kembali dan memakan korban yang lebih banyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun