Mohon tunggu...
talitharaissaramadhani
talitharaissaramadhani Mohon Tunggu... Sejarawan - UNIVESITAS NEGERI SEMARANG

Seorang mahasiswa di Universitas Negeri Semarang prodi Ilmu Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Media Pers pada Masa Orde Baru di Indonesia

20 Desember 2024   19:40 Diperbarui: 20 Desember 2024   19:58 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pers pada masa Orde Baru dikendalikan oleh pemerintah. Pada masa ini Pers tidak memiliki kebebasan dikarenakan dibatasi ketat oleh pemerintah. Hal ini terjadi dikarenakan ada pengakuan terhadap kebebasan pers, kemudian pemerintah di bawah Soeharto mengendalikan media melalui Dewan Pers yang didominasi oleh pejabat pemerintah dan militer. Pers berfungsi lebih sebagai alat propaganda untuk mendukung rezim, dengan penyensoran dan pembredelan media yang kritis terhadap pemerintah. Akibatnya, pers tidak bisa menjalankan fungsi sebagai pengawas pemerintah dan menyampaikan aspirasi publik secara bebas. Pada masa Orde Baru Pers lebih berfungsi sebagai corong pemerintah daripada menjadi alat informasi publik.

Pada masa Orde Baru semua unsur unsur yang berhubungan dengan Orde Lama dihapuskan. Masa Orde Baru cara pemerintah mengendalikan media melalui Dewan Pers dan regulasi ketat, termasuk keharusan untuk mendapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan. Media yang kritis sering mengalami pembredelan dan penyensoran, sehingga tidak dapat menjalankan perannya sebagai pengawas pemerintah dan menyampaikan aspirasi Masyarakat. Dengan adanya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pemerintah memberlakukan control yang ketat terhadap pers yang dengan bertujuan untuk menjaga stabilitas politik dan mempertahankan kekuasaan. Setelah adanya peristiwa 30 September 1965 pemerintah mengendalikan media untuk mecegah kritik yang mengganggu legistimasi mereka. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan oleh pemerintah menjadi alat untuk membrendel media yang dianggap kritis. Pemerintah juga meminta wartawan untuk wajib mengikuti pelatihan ideologi dan membatasi akses informasi dari tokoh oposisi sehingga menjadikan media berfungsi sebagai alat propaganda daripada sebagai pengawas. Dengan tekanan tersebut Pers susah bergerak namun Pers masih bisa bertahan dengan cara beberapa media memilih untuk menghindari kritik tajam terhadap pemerintah, lebih berfokus pada pemberitaan positif untuk menjaga izin terbit. Para jurnalis dan penerbit melakukan kolaborasi rahasia untuk berbagi informasi kritis secara terselubung. Banyaknya media Pers yang dibredel, namun beberapa meda pers yang mendukung pemerintah tetap berkembang dan menciptakan ruang terbatas bagi suara alternatif. Dengan ini pers lebih berfungsi lebih sebagai alat kontrol pemerintah daripada sebagai pengawas independent

Pada tahun 1966 dikeluarkannya Undang undang yang berada di lingkup pers, yaitu  UU No. 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers. Dikeluarkannya Undang Undang ini membawa pers yang lebih baik, dengan SIT (Surat Izin Terbit) dan SIC (Surat Izin Cetak) sebagai syarat penerbitan (Maulana dkk, 2023: 90). Namun hubungan pers dengan pemerintahan yang berlangsung selama 32 tahun ini tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1974 adanya pembatasan ruang gerak atau pembredelan pers. Tepatnya setelah adanya peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974, dengan dibredelnya 12 pers, termasuk pers mahasiswa (Rustamana dkk, 2024: 1). Politik peringatan dan sensor menjadi langkah Orde Baru dalam membungkam pers dan mengendalikan berita-berita politik (Murtiningsih & Siswanto, 1999: 59). Hingga tahun 1980an, hubungan pers dan pemerintahan mulai terdapat jarak.

            Pada masa orde baru Kritik atas pemerintah menjadi hal yang dilarang pada masa itu, dan petrus (penembak misterius) menjadi operasi penangkapan dan pembunuhan bagi siapa saja yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman rakyat (Maulana dkk, 2023: 92). Stabilitas nasional menjadi alasan utama pemerintah orde baru dalam melakukan pembredelan. Kasus ini seringkali mendapat tanggapan dan antusiasme besar dari masyarakat lantaran dianggap sebagai bentuk sikap otoriter penguasa, khususnya pada pembredelan surat kabar 1994. Surat kabar yang mengalami pembredelan yang tentunya memberikan dampak yang besar terhadap kebebasan berpendapat dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Dengan pembatasan ini, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang akurat dan beragam, yang menghambat pertukaran ide dan kritik terhadap pemerintah. Hal ini menciptakan iklim ketakutan di kalangan jurnalis, sehingga banyak yang enggan melaporkan berita yang kritis. Setelah reformasi 1998, meskipun kebebasan pers diakui, warisan pembredelan masih mempengaruhi cara masyarakat berinteraksi dengan media dan mengekspresikan pendapat. Selain itu terdapat dampak bagi perkembangan pers dan media pembawa informasi. Bagi kewibawaan orde baru, pembredelan telah menurunkan wibawa militer orde baru. Pembredelan juga menyimpan kesan dalam percaturan politik Indonesia, lantaran terdapat larangan meliput negosisasi tingkat tinggi. Di bidang sosial, pembredelan mengakibatkan demonstrasi atas kekecewaan masyarakat dan pengangguran karyawan surat kabar yang dibredel, hingga pergeseran orientasi pers dari kontrol sosial menjadi orientasi pasar

Semua surat kabar ada masa Orde Baru yang tidak memiliki SIUPP akan dicekal dan dituding sebagai produk ilegal juga subversif. SIUPP memiliki tujuan untuk mengontrol pers dalam situasi darurat, tetapi oleh Orde Baru digunakan sebagai alat pemanis pers yang selalu menjadi pemanis rezim. Mulai dari Peristiwa Malari, Peristiwa Priok, Peristiwa 77/78, hingga pembereidelan paling terkenal yang menimpa Monitor, Detik, dan Tempo pada tahun 1994 saat menyinggung kebijakan Habibie. Kemudian semua media tersebut dibrendel oleh pemerintah.

Dengan adanya pembredelan ini mengakibatkan informasi menjadi sulit diakses oleh Masyarakat, sehingga munculah Media bawah tanah. Media bawah tanah pada masa orde baru merupakan media alternatif  yang muncul sebagai respons terhadap kontrol ketat pemerintah terhadap media mainstream. Media bawah tanah biasanya diterbitkan oleh mahasiswa atau kelompok kritis lainnya untuk menyajikan informasi yang lebih bebas dan kritis, mengangkat isu-isu yang diabaikan oleh media resmi. Seperti pers mahasiswa yang aktif mempublikasikan tulisan-tulisan kritik terhadap pemerintah, terutama menjelang Reformasi 1998. Mereka menggunakan cara-cara kreatif seperti fotokopi untuk mendistribusikan informasi, meskipun menghadapi risiko represif dari pemerintah. Media ini berperan penting dalam menyebarkan kebenaran dan membangun kesadaran politik di kalangan masyarakat..

Media bawah tanah ini merupakan sebuah media alternatif yang hadir yang dituliskan oleh para mahasiswa. Media ini juga disebut sebagai Pers Mahasiswa, sebuah produk jurnalistik independen yang lahir dan diproduksi oleh mahasiswa itu sendiri, serta berkecenderungan kritis. Pada masa Orde Baru, Pers Mahasiswa memiliki posisi tawar yang unik sebagai media alternatif di tengah pembreidelan media-media nasional (Allfiansyah, 2015: 7-8).

Contoh produk pers mahasiswa yang keras menentang pemerintah Orde Baru disetiap tulisan-tulisannya adalah Salemba dari UI, Gelora Mahasiswa dari UGM, dan Kampus dari ITB Pers Mahasiwa ini memiliki daya tahan untuk berkembang, kendati berganti nama produk, tetapi spirit yang mereka gunakan tetap sama, yakni mengabarkan apa yang tidak dikabarkan oleh media nasional. Kampus menjadi corong utama lahirnya media alternatif ini, belum lagi selebaran-selebaran buletin yang berisi tentang tanggapan dan ulasan kritis mahasiswa. Tak jarang pers mahasiswa juga ikut dilarang untuk beredar oleh penguasa (Allfiansyah, 2015: 7-8).

Terdapat juga beberapa media alternatif lain yang muncul di era Orde Baru misalnya "Kabar dari Prijar", "Suara Independen", "Apa Kabar"yang dikelola oleh John McDougall serta majalah bawah tanah "AJI (Analiansi Jurnalis Independen) yang bergerak menentang PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).

Sumber :

UU No 40 Tahun 1999

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun