"Suaminya insinyur, istrinya dokter, lha ini pestane kok kecil," yang lain nyeletuk.
"Dokter anyaran."
Bagi saya yang belum menikah, saya sampai berpikiran bahwa apakah makanan di pesta pernikahan merupakan sebuah standar yang memang harus dipenuhi.
Kalau gitu, pengantin nggak perlu dandan di MUA yang bikin pangling, nggak perlu dekorasi dan photobooth pakai korden menjuntai, nggak perlu sewa band pengiring yang penting catering melimpah, tamu datang lalu kenyang.
Bahkan, saat ini sedang trend review makanan di kondangan. Biasanya sih dilakukan sama para food vlogger yang diundang ke pesta pernikahan food vlogger yang lain. Ini kan acara nikahan, kenapa jadi bahan buat konten Youtube.
Suguhan makanan di pesta pernikahan ini sudah seperti standar yang harus dipenuhi oleh yang punya hajat. Intinya, makanan di pesta pernikahan ya harus lengkap, enak, banyak, dan yang penting kenyang!
Perhitungan jumlah makanan yang dipesan ini sebenarnya dan seharusnya kan sudah bisa dihitung. Kalau ngundang 200 tamu ya dikali 2 saja karna biasanya tamu undangan kan datang berdua. 200 porsi x 2 = 400 porsi.
Kalau mau dilebihin ya 450 porsi untuk jaga-jaga. Kalau makanan sudah habis sedangkan tamu masih banyak yang belum datang? Ya coba ditengok kanan-kiri ada nggak yang diam-diam bungkus makanan, atau ada orang yang nggak dikenal tiba-tiba datang.
Bukan hanya porsi, standarisasi rasa makanan juga mengudang ghibah dari tamu.
"Siomaynya alot, bumbu kacangnya keasinan."
Sudah untung diundang, nyemplungin amplop berapapun si pengantin juga nggak tahu. Makan all you can eat kapan lagi yakan, masih aja komentarin rasa makanan. Itu yang nikah, di atas panggung apa kupingnya nggak panas?
Mau pernikahan mewah ataupun sederhana, tujuan utama tamu diundang ke hajatan ini adalah agar turut merasakan kebahagiaan dan mendoakan si pengantin.