Cakraningrat III dari Madura bahkan dikisahkan tidak sudi datang ke Kartasura jika dipanggil oleh sang raja. Ia selalu memegang wasiat mendiang ayahnya yang menginginkan Madura barat selalu berada di pihak Kompeni. Sejak tahun 1704, lebih banyak lagi Bupati pesisir utara yang dengan sukarela mengirimkan upeti dalam bentuk beras, ayam, dan ikan. VOC kemudian memberi mereka hadiah berupa kain dari India dan beberapa pucuk senapan. Para Bupati dari Pekalongan, Batang, Demak, Jepara, Gresik, Surabaya, dan Madura barat terus menawarkan diri menjadi vasal VOC melalui cara ini sampai tahun 1718.
“Mereka melakukannya bukan karena para Bupati menyukai orang-orang Belanda, tetapi sekadar keinginan untuk mendapatkan dukungan bagi diri mereka sendiri dan mencegah Susuhunan menjalankan wewenangnya atas pesisir,” terang Nagtegaal. Ia menambahkan bahwa dibandingkan daerah pesisir utara lainnya, wilayah-wilayah yang dikuasai VOC lebih dapat hidup dengan hak-hak istimewa. "Tidak ada yang berani menyerang dan VOC tidak banyak ikut campur dalam urusan internal,” lanjutnya.
Pada pertengahan abad ke-18, VOC sudah memegang kedaulatan penuh terhadap pelabuhan-pelabuhan utama Jawa. Ketika perang tahta Mataram kembali pecah pada 1749, Kompeni melancarkan kebijakan dengan memecah Mataram menjadi dua. Orang-orang Belanda tidak hanya mendukung Pakubuwana III yang belakangan pindah ke Surakarta, melainkan juga mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Yogyakarta. Dengan jalan mendukung takhta para raja Jawa yang terpusat di pedalaman Jawa Tengah, kekuasaan Kompeni terus berlanjut di pesisir utara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H