Pemilihan presiden atau yang kerap disingkat Pilpres merupakan proses demokrasi, yaitu ketika rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Dalam Pilpres, partisipasi warga negara Indonesia sangat dibutuhkan. Karena urgensi inilah, Pilpres tidak dapat lepas dari pemberitaan yang melibatkan media massa.
Media massa menjadi kekuatan dan senjata untuk terciptanya opini publik yang berperan penting dalam mempengaruhi khalayak. Tujuan kehadiran media massa adalah sebagai penyedia informasi aktual dan kredibel yang dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat membangun opini publik yang sehat, mendorong partisipasi pemilih, dan membantu pihak penyelenggara dalam membentuk opini yang tepercaya terkait pentingnya Pilpres. Berkaitan dengan hal tersebut, independensi media massa sangatlah dibutuhkan.
Namun, peran jurnalisme dalam menginformasikan berita di media massa bagaikan dua buah mata pisau. Di satu sisi, media massa mengambil peran sebagai alat edukasi, namun di sisi lain media massa juga merupakan lembaga komersial yang tak terlepas dari keinginan mendapatkan keuntungan daripada kerugian. Meski demikian, media massa seharusnya tetap netral dan tidak tendensius, menghindari clickbait, dan menghindari manipulasi serta propaganda.
Media massa seharusnya tidak mengedepankan peran sebagai lembaga komersial yang bertujuan meraup untung sebesar-besarnya, tetapi sebagai lembaga penyedia informasi yang aktual dan kredibel. Media massa harus bersikap netral dan tidak tendensius. Prinsip ini berlaku untuk menjaga kredibilitas, integritas, dan fungsi media sebagai penyalur informasi yang objektif.
Ketika media massa bersikap netral, media massa akan memberikan informasi secara menyeluruh dan kritis, sehingga rakyat dapat terbantu dalam membuat keputusan politik. Sebaliknya, jika suatu media massa bersikap tendensius, maka akan memunculkan kecurigaan rakyat sehingga mereka mungkin kehilangan kepercayaan pada informasi yang disampaikan.
Ada sebuah riset yang menunjukkan bahwa banyak media massa, terutama TV, terjebak dalam ketergantungan pada kepentingan bisnis dan politik, sehingga mereka mengorbankan independensi media. Contoh kasus yang dijumpai baru-baru ini adalah terkait televisi swasta MNC-TV yang diduga menjadi corong kepentingan politik melalui kampanye terselubung dalam tampilan Ganjar Pranowo di tayangan azan magrib.
Media massa harus menghindari clickbait yang bersifat menyesatkan. Clickbait adalah praktik mendesain judul secara berlebihan untuk menarik perhatian pembaca maupun penonton. Clickbait sering kali mengandung judul yang ekspresif, dramatis, dan misterius agar konsumen tertarik, sehingga mereka membaca atau menonton konten tersebut lebih lanjut dan menghasilkan keuntungan bagi media. Clickbait hanya mengejar kuantitas orang yang mengakses berita tanpa memperhatikan kualitas informasi yang disajikan.
Fungsi pers di era demokrasi sangat vital, oleh karena itu diperlukan pemberitaan yang kredibel. Hal ini sejalan dengan pendapat Menteri Komunikasi dan Informatika, Budie Arie Setiadi, yang meminta dukungan media agar mereka memberikan informasi yang faktual dan akurat demi terwujudnya Pilpres 2024 yang damai dan kondusif. Clickbait memang masih menjadi momok yang sulit diperangi dalam dunia pers.
Penelitian dari CfDS UGM menemukan banyak sekali berita bersifat problematis yang tercermin dalam ketiadaan relevansi substansial yang konkret dengan headline yang disajikan. Misalnya dalam berita detikNews yang berjudul ‘Pak Prabowo Sekarang Sabar Kok’, yang ketika dibaca berisi tentang perubahan karakter diri atau tabiat seseorang. Judul artikel ini sangat tidak menggambarkan atau mewakili topik yang diulas dalam tubuh artikel.
Media massa harus menghindari manipulasi serta propaganda, meski rasanya sulit dilakukan di musim kontestasi politik ini. Menurut Noam Chomsky, kecenderungan media massa menjadi propaganda terutama di musim kompetisi Pilpres merupakan akibat dari beragam aspek, antara lain (a) keterkaitan antara pemilik media massa dengan kelompok elite ekonomi dan politik, (b) orientasi komersial yang terlampau berlebihan melalui iklan atau promosi sebagai sumber utama pendapatan bisnis media massa, (c) tradisi jurnalistik konvensional, yaitu menggantungkan sumber informasinya pada tiga lingkaran elite dalam masyarakat, seperti kalangan pebisnis, pemerintah dan pakar, serta akademisi atau peneliti, dan (d) media massa terjebak untuk mengadu tiga kandidat presiden dengan menghitung kuantitas dukungan, tanpa mempertimbangkan cara pemerolehannnya.