Pop culture atau budaya populer adalah budaya yang muncul akibat hegemoni media massa. Budaya ini tercipta karena media berperan aktif dalam memproduksi, menyebarkan, dan mempopulerkan suatu produk budaya, sehingga publik menyerap dan menerimanya sebagai suatu bentuk kebudayaan. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku konsumsi dan determinasi media massa terhadap publik yang bertindak sebagai konsumen (Strinati, 2007: 40).
Budaya populer diartikan pula sebagai kekuatan dinamis yang menghancurkan batasan kuno, sebab keberadaannya berpotensi menggerus nilai kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang (Strinati, 2007: 18). Budaya populer lebih mengedepankan sisi popularitas daripada kedalaman nilai, karena yang terpenting dari budaya populer adalah banyak disukai dan menyenangkan orang (Storey, 2003: 10).
Budaya populer termanifestasi dalam berbagai bentuk, misalnya tentang apa yang kita konsumsi, kita tonton, kita dengarkan, kita pakai, dan sebagainya. Budaya populer banyak ditemui di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Implementasi budaya populer melibatkan banyak pihak, antara lain (a) instansi pemerintah, (b) industri kreatif, dan (c) masyarakat.
Sebagai instansi yang otonom, peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam mengapresiasi budaya populer, misalnya melalui pemberian insentif bagi para pelaku budaya yang bergerak di bidang industri kreatif. Dalam industri kreatif, budaya populer bersentuhan dengan aspek kehidupan sehari-hari, misalnya musik, film, fashion, dan teknologi. Dalam musik, budaya populer tercermin pada keberagaman genre, misalnya rock, hip-hop, EDM, dan dangdut. Dalam film dan televisi, budaya populer tercermin pada web series dan konten digital yang membuka ruang kreativitas selebar-lebarnya bagi para pembuat konten. Dalam fashion, budaya populer tercermin pada pemilihan tone outfit of the day (OOTD) perempuan yang digolongkan menjadi cewek kue, cewek mamba, dan cewek bumi. Dalam teknologi, budaya populer tercermin pada meningkatnya konsumsi e-sports hingga dijadikan ajang perlombaan nasional bahkan internasional. Semua contoh di atas termasuk ke dalam budaya populer karena mencerminkan dinamika tren konsumen yang dipengaruhi media sosial. Dan pihak terakhir yang terlibat dalam budaya populer adalah masyarakat itu sendiri sebagai pencipta sekaligus pelaku budaya.
Budaya populer memiliki kaitan erat dengan bidang ekonomi kreatif, mulai dari cara produksinya, pendistribusiannya, hingga pemasarannya. Kontribusi budaya populer dalam konteks ekonomi kreatif dapat diamati pada banyak hal, misalnya di industri musik, film, televisi, fashion, gaya hidup, desain, pariwisata, media digital dan teknologi, hingga inovasi bisnis. Budaya populer dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan, yaitu melalui ketersediaan lapangan pekerjaan, peluang bisnis, penjualan konten digital, iklan dan promosi, pariwisata, pengembangan perangkat lunak, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kebudayaan populer tidak sekadar menjadi bentuk ekspresi kreatif, tetapi juga mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kreatif.
Budaya populer di Indonesia tidak hanya memiliki dampak positif, tetapi juga terdapat hal yang perlu dikritisi dari fenomena ini. Karena sifatnya yang dangkal sebagai 'budaya rendah', budaya populer bertanggung jawab terhadap melemahnya nilai-nilai tradisional dan budaya lokal warisan nenek moyang. Pengaruh kebudayaan populer dan adanya globalisasi sangat berpotensi menggerus nilai luhur bangsa Indonesia. Selain itu, budaya populer yang terkemas dalam iklan dan promosi juga dapat mendorong sikap konsumtif.
Di sisi lain, fokus pada tren, merek, dan gaya hidup yang sedang digandrungi publik sering membayang-bayangi masyarakat. Belum lagi munculnya perasaan tertinggal atau diabaikan jika seseorang tidak mampu mengikuti tren yang ada. Hal ini akan menciptakan kesenjangan sosial. Di sisi lain, budaya populer juga mendegradasi moral dan etika generasi muda. Isu-isu seperti kekerasan, seksualitas, dan penggunaan tuturan yang tidak pantas telah menjadi keprihatinan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan kebijaksanaan dari masyarakat sebagai pencipta sekaligus pelaku budaya untuk menghadapi budaya populer yang kian tak terbantahkan.Â
Referensi:
Strinati, Dominic. 2007. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (Penerjemah: Abdul Mukhid). Yogyakarta: Bentang Budaya.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Culture Studies (Penerjemah: Elli El Fajri). Yogyakarta: Penerbit Qalam.