Herman Loonstein (54) dan putranya Sruli (26) adalah duo ‘tabib’ sunat Yahudi di Belanda. Unik, karena mereka satu-satunya ‘juru’ khitan Yahudi di Belanda atau biasa disebut mohel. Penghujung Juli 2013 lalu, salah seorang kolega saya, David, memanggil duet Loonstein untuk brit milah atau khitanan putranya. Kendati acara ini sangat personal, saya diundang David untuk after party singkat. Semacam syukuran seadanya lah kalau disepadankan di Indonesia.
[caption id="attachment_280937" align="aligncenter" width="600" caption="Sruli (kiri) dan Herman Loonstein. Foto: Dokumentasi Pribadi"][/caption]
Saya sempat berbincang ala kadarnya dengan Sruli dan ayahnya, Herman. Mereka sendiri lebih senang disebut sirkumsisiolog ketimbang ‘tukang’ sunat ritual. Sekitar 50 hingga 100 bayi per tahun mereka tangani di Belanda. Tak peduli panas terik atau badai salju, dengan atau tanpa janji sebelumnya, ayah dan anak ini dengan senang hati menyunat bayi-bayi lelaki, membacakan doa, dan memberikan nama Yahudi serta sertifikat sunat di seantero Belanda.
Kadang, duo Loonstein ini praktek bersamaan. Namun, tak jarang pula mereka beroperasi sendiri-sendiri. Siapa saja klien mereka? “Beragam, mulai dari Yahudi ortodoks hingga orang Yahudi yang sudah berasimilasi di Belanda,” terang Herman. Menurutnya, khitanan adalah ritual terpenting di agama Yahudi. “Lebih krusial dibanding mengonsumsi makanan kosher atau menunaikan sabbath. Khitan itu layaknya pakta langsung dengan Sang Khalik,” timpal Sruli.
Sewaktu saya tanya mengenai alasan praktis khitan, mereka mengaku tak tahu. Mereka menggarisbawahi, ritual ini tercantum di Taurat. Singkatnya, sirkumsisi dilakukan hari ke delapan setelah bayi laki-laki Yahudi dilahirkan. Pria Yahudi yang tak disunat bakal kehilangan beberapa hak esensial, di antaranya dilarang menikahi wanita Yahudi atau menjadi anggota dewan sinagoge. Syarat memenuhi kedua hal tersebut adalah sertifikat sunat dari mohel.
“Mereka terancam dikucilkan oleh lingkungan, baik secara religius maupun sosial,” tegas Herman. Ia sendiri sudah berpengalaman 28 tahun menjadi ‘spesialis’ sunat Yahudi. Kulup dari sekitar 1.500-an bayi Yahudi yang disunat olehnya ia kumpulkan di rumahnya dan bakal dikubur nanti bersama jenazahnya. “Itu privilege seorang mohel,” ungkap Herman. Ia ‘berguru’ 28 tahun lalu pada seorang mohel merangkap dokter gigi di Amsterdam.
Herman menyunat sendiri putranya, Sruli. Dulu, kebiasaan ini dilakukan turun-temurun dari ayah ke anak laki-laki. Sruli pernah belajar menyunat langsung di Israel. Ia sempat ‘magang’ pada seorang mohel yang mengkhitan sekitar tujuh bayi tiap hari. “Lama-lama terampil sendiri,” ujar Sruli. Mereka berdua, Sruli dan Herman, telaten mengunjungi dan merawat ‘pasien-pasien’ cilik pra dan pasca khitanan. Mereka sendiri bekerja sehari-hari sebagai pengacara.
“Makanya kami bisa longgar mengatur waktu. Seandainya kami pegawai kantoran, tak mungkin menjalani profesi ini,” tutur Herman dan Sruli. Mereka bermukim di Buitenveldert, satu kawasan berpenduduk mayoritas keturunan Yahudi di Amsterdam. Herman dan Sruli melakukan khitan ini cuma-cuma. Mitsvah bahasa Ibraninya atau berbuat baik untuk sesama arti sederhananya. “Apa tak kesakitan itu orok-orok mungil?” sergah saya penasaran.
Sruli hanya tersenyum. “Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, kalau mendengar dari tangisannya bayi-bayi itu tak komfortabel,” urai Herman. Prosedur sirkumsisi berlangsung hanya dua menit—mulai dari buka popok, potong kulup, dan tutup popok. Pisau yang digunakan tajam di dua sisi. Kalau tidak, mohel pemula bisa salah iris karena gugup atau grogi. Seandainya muncul komplikasi, Herman dan Sruli merujuk ‘pasien’ mereka ke dokter di rumah sakit.
Mereka pun menolak bayi yang terlihat pucat atau terlalu ringan bobotnya saat berusia delapan hari. Menurut Herman, selama 28 tahun jadi mohel, terhitung lima kali ia harus membawa ‘pasiennya’ ke ICU karena pendarahan tak berhenti. Pernah dapat komplain dari bayi-bayi yang dikhitan itu setelah dewasa? “Tak pernah!” tampik Herman. “Khitan bagi pria Yahudi dewasa jauh lebih menyakitkan secara fisik. Sudah alot!” pungkas Sruli dan Herman hampir bersamaan. Haha…
Oya, ‘ahli’ sunat khusus muslim di Belanda belum pernah saya dengar. Sebagian besar sunat muslim dilakukan oleh dokter di beberapa klinik khitan tersebar di kota-kota Belanda. Biayanya mulai € 300 dan termasuk paket tambahan di asuransi kesehatan. Mengutip beberapa kenalan imigran asal Maroko, sunat tradisional di sana dilakukan oleh ayah atau paman bayi laki-laki bersangkutan. Kulup bayi dijepit 20 menit dengan semacam klem hingga jaringan selnya mati dan kering.
Sekedar catatan pinggir, diskusi seputar khitan pria di Belanda mulai mencuat pertengahan 2012 silam. Juni 2012 lalu, pengadilan tinggi di Jerman memvonis khitan seorang bocah lelaki muslim berusia empat tahun sebagai ‘penganiayaan berat’ akibat komplikasi dan melarang sunat (bayi) laki-laki tanpa urgensi medis. Ikatan Dokter Belanda KNMG melaporkan, 2012 tercatat sekitar 10.000 laki-laki dikhitan, terutama di kalangan warga muslim Belanda dan kebanyakan bermotif religius.
KNMG menentang khitan (anak) laki-laki tapi tak melarang ‘ritual’ ini. Mengapa? Karena jika dilarang dikhawatirkan malah underground. Praktik ilegal ini lebih membahayakan. KNMG menyangsikan argumen medis khitan seperti pencegahan kanker genital, infeksi saluran kemih, dan penularan penyakit kelamin. Selain itu, KNMG menekankan ‘integritas tubuh’. Bagaimana dengan alasan higienis? Jaminan air bersih dan sanitasi di Belanda tak jadi soal buat pria berkulup.
Shalom aleichem!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H