[caption id="attachment_403041" align="aligncenter" width="540" caption="Foto: K. Amatmoekrim"][/caption]
Pendatang asal Suriname di Belanda tiap tahun menyelenggarakan kompetisi burung pipit. Acara tahunan musim panas ini biasa diadakan di kota Amsterdam, Den Haag, dan Rotterdam. Mirip-mirip lomba burung perkutut di Indonesia.
Agustus 2014 silam, saya diajak Karim, salah seorang kerabat, menilik langsung ajang ini di Den Haag, kota pusatnya pemerintahan Belanda.
Burung-burung ini bukan dinilai dari keindahan bulunya melainkan suaranya. Macam-macam jenisnya. Yang paling digemari di kalangan orang Suriname yaitu twatwa dan picolet atau pipit dan gelatik Bahasa Indonesianya.
Burung-burung pengicau ini ukurannya jauh lebih kecil dari kepalan tangan saya. Tapi, jangan salah…
Buat pria-pria Suriname mereka dianggap layaknya anggota keluarga. Suatu kehormatan tersendiri bagi bapak-bapak itu bila memenangkan kontes tahunan ini.
Kontes ini diadakan di lapangan terbuka, biasanya di sudut taman-taman kota dan hanya berlangsung jika cuaca mendukung. Artinya, harus cerah, kering, dan suhu tak kurang dari 15°Celcius.
“Kami pernah selenggarakan di ruang tertutup, tapi burung-burung itu malah mogok berkicau. Mereka senang sinar matahari langsung dan temperatur di atas 20°Celcius,” terang Karim.
“Di Belanda, rehat musim dingin buat burung-burung tropis itu penting. Selama musim panas mereka banyak gerak dan intensif berkicau,” sambungnya.
‘Gerombolannya’ Karim beranggotakan kurang lebih 50 orang. Ada orang Jawa, Cina, keturunan India (di Belanda disebut Hindustan), dan suku Creol (negroid). Bapak-bapak ini terlihat kompak dan kenal baik satu sama lain.
Begitu sampai di lokasi, mereka langsung membuka kain penutup sangkar burung mereka dan memajangnya berjejer di atas kap mobil.
Setelah chit-chat sejenak dan saling tukar informasi, salah seorang dari mereka membuka kardus berisi besek modern, isinya bakmi goreng atau roti isi macam-macam buat makan siang. Mangan ora mangan kumpul!
Di bagasi mobil lainnya, piala bergilir berkilau keemasan diterpa matahari. Trofi inilah yang diincar bapak-bapak itu.
Burung-burung pipit dan gelatik peserta lomba hanya berkelamin jantan. Bulu-bulunya mengkilap, terawat, dan mencuri perhatian saya. Namun, bukan itu yang dipertandingkan.
Twatwa dan picolet itu segera ‘menyanyi’ tebar pesona begitu sangkarnya dikaitkan di tonggak kayu. Seekor burung twatwa betina, biasa disebut pop, disandingkan agak jauh di hadapan burung-burung pejantan.
Selama 15 menit, juri yang mondar-mandir dengan stopwatch mengukur cuitan merdu burung-burung itu. Makin banyak ‘hentakannya’ per menit, itulah yang berhak menggondol piala. Rekor sejauh ini, 254 ‘ketukan’ dalam satu menit.
“Burung-burung itu dilatih secara teratur berkicau dengan intonasi tertentu. Di alam bebas mereka tidak berbunyi seperti itu,” papar Karim.
[caption id="attachment_403042" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: K. Amatmoekrim"]
Kompasianers, burung-burung peliharaan itu amat jinak dan penurut. Mereka diajari ‘menyanyi’ oleh burung penuntun. Burung penuntun ini tak boleh diikutsertakan dalam kompetisi karena ‘tugasnya’ hanya mengoreksi ‘lantunan muridnya’ yang salah.
Selama burung-burung itu merasa nyaman, mereka bakal ‘bersenandung’ dengan sendirinya. Karena itu, mereka diperlakukan seperti anggota keluarga dan bebas keliaran di dalam rumah.
Malahan, menurut Karim, ada bapak-bapak yang mengajak burung peliharaannya jalan-jalan dengan mobil. Si istri didaulat menyetir, sedangkan si bapak duduk manis memangku dan ngobrol dengan ‘momongannya’ di sangkar. Aya aya wae!
Di Suriname, twatwa dan picolet relatif mudah didapat sekalipun kini mulai terancam habitatnya. Di Belanda, seekor twatwa kualitas unggul dapat dihargai € 4.000,- Burung pipit kampiun nilainya dapat melonjak hingga € 20.000,-
Nominal ini senilai dengan mobil kelas menengah di Belanda atau arloji Rolex. Makanya kerap terlontar anekdot: pria Belanda suka pamer gukguknya, laki-laki Suriname lebih bangga dengan burungnya! Haha…
Tak jarang, pria-pria Suriname dililit hutang karena hobi mereka memelihara burung hias ini. Kendati demikian, kontes burung ini tak pernah berhadiah uang. Selain piala bergilir, pemenang berhak mendapat karangan bunga untuk sang istri dan tiket pesawat pulang pergi ke Paramaribo, ibukota Suriname. Sesekali, pemenang diberi kejutan burung twatwa baru untuk dilatih.
Yang saya perhatikan, kumpulan ini mirip arisan ibu-ibu di Jakarta. Babe-babe itu kalau sudah kumpul sama saja hebohnya. Ceriwis, cekikikan, dan berisik! Obrolan mereka pun mulai dari soal kerjaan hingga gosip terbaru dan seringkali nyerempet urusan ranjang atau tema-tema saru.
Kabarnya, banyak rumahtangga orang Suriname berantakan karena masalah burung. Ya iyalah, istri-istri jadi jablai alias jarang dibelai. Hehe…
Usai kompetisi yang kali ini dimenangkan oleh Joy bersama burung twatwanya, Ricardo, kami bersulang dengan CocaCola dicampur rum. Sebagian duduk lesehan sembari menyulut rokok linting.
Joy sedikit mengeluh, “Anggota perkumpulan kami mayoritas tumbuh di Suriname dan sedari kecil dekat dengan alam. Anak-anak kami tak lagi minat kompetisi seperti ini. Beda generasi, beda hobi.”
Salam siul-siul ala burung bulbul!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H