“Ah, cuma empat puluh ribu kok. Mumpung lagi sale!” celetuk salah seorang sohib perempuan saya. Padahal, setelah diusut, t-shirt yang diperlihatkannya berharga Rp 120.000,- Entah mengapa, satu dari tiga sahabat-sahabat perempuan saya punya ‘kebiasaan’ serupa. Berkelit dan muter-muter saat ditanya harga barang yang baru dibelinya. Malah, yang lebih ‘parah’, mereka seringkali ngibul dan punya seribu alasan: dikasih teman, sudah lama tergantung di sudut lemari, jarang dipakai, dan seterusnya.
Karib-karib perempuan saya yang kebetulan sudah bersuami atau punya partner pun setali tiga uang. Acapkali, kami belanja barengan dan mereka sengaja menitipkan ‘hasil buruannya’ di kediaman saya karena khawatir ‘disemprot’ oleh suami mereka. Tak terhitung pula, sobat-sobat perempuan saya yang ‘hobi’ tukar barang di mal-mal hanya karena warna kurang cocok atau di tempat lain lebih murah. Hadeuuuh… Ironisnya, semakin dilarang oleh suaminya, kelakuan teman-teman saya itu justru kian menjadi-jadi.
Duhai bapak-bapak, baik yang muda ataupun masih terus merasa muda, jangan terlalu kritis dong soal yang satu ini. Pengamatan saya, semakin sang istri diwanti-wanti, semakin lihai pula mereka bersilat lidah. Mari kita sama-sama telisik mengapa istri-istri berperilaku seperti itu…
[caption id="attachment_305112" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: Sebe Emmelot"][/caption]
Di Belanda, tempat saya bermukim sekarang, gejala ini sudah jadi rahasia umum. Tahu sama tahu lah. Konon, sejak zaman baheula, kesukaan belanja itu berhubungan erat dengan fungsi reproduktif manusia. Produk-produk yang dibeli diam-diam oleh kaum hawa kebanyakan bukan kebutuhan primer, kan?
Arloji mewah, tas, aksesori, rok trendi, parfum, sepatu tumit tinggi, make up, dan lain-lainnya itu berfungsi untuk menarik suami atau lawan jenis. Tak heran, teman-teman perempuan saya biasanya ‘mendadak genit’ serta lebih rajin bersolek kira-kira dua pekan jelang dan setelah menstruasi. Ini masa suburnya perempuan atau periode ovulasi, toh?
Bagaimana dengan kaum adam? Sebenarnya sama saja, tuh… Motor Harley Davidson keluaran terbaru, jam tangan Rolex, gadget elektronik bling-bling paling anyar—ini semua jika dibandingkan di dunia fauna mirip dengan burung merak jantan yang lagi pamer ekor kipasnya. Singkat kata, anggaplah shopping salah satu ‘kebutuhan biologis’ untuk mempertahankan ‘kelestarian’ manusia.
Tapi, kok pria-pria lebih sering jutek sewaktu melihat tagihan kartu kredit yang dipakai istrinya? Ini pun penjelasannya balik lagi ke zaman primitif. Pada dasarnya, pria adalah pemburu dan sebaliknya wanita adalah pengumpul. Pria-pria prasejarah berburu hewan mangsa untuk ‘nafkah’ keluarga. Setelah buruan didapat, mission accomplished! Wanita purba, sejak dulu terbiasa memungut biji-bijian, buah-buahan atau dedaunan di sekitar gua tempat tinggal.
Coba deh Kompasianers sekali-kali perhatikan sewaktu antri di kassa pasar swalayan. Mayoritas kaum pria tak ‘jelalatan’ ke sana ke mari lihat penawaran barang. Gampangnya, bayar dan selesai! Sebaliknya, ibu-ibu bakal lihat ada boneka untuk si kecil dekat kasir, kartu diskon untuk pulsa ponsel, dan jajanan pasar buat suster. Hehe… Saya bukan seksis, lho. Fenomena ini pun sudah ada penelitiannya.
Seandainya Anda punya waktu longgar, iseng-iseng ketik nama psikolog Tim Denison di Google. Menurut hasil risetnya, adrenalin pada pria terhenti setelah barang yang diincar didapat, sedangkan pada wanita terus fluktuasi. Makanya banyak pengusaha ritel menata malnya memakai hasil penelitian Denison. Di Belanda umpamanya, barang-barang kebutuhan para ‘pejantan’ ditawarkan di lantai bawah atau sekitar pintu masuk, mudah dituju, dan dekat kasir. Beda dengan pernak-pernik kebutuhan perempuan yang sengaja disebar di beberapa lantai.
Bahkan, toserba besar kebanyakan menyediakan kafe tempat ngerumpi, baca koran, dan arena bermain bagi si kecil. Shopping bagi mbak-mbak serta ibu-ibu sekaligus berfungsi sebagai wahana tukar pikiran, membicarakan ‘masalah’ keluarga atau mendengar gosip yang lagi in. Konsep seperti ini normal-normal saja sebetulnya. Yang jadi masalah, apabila shopping menjurus candu. Yang namanya kecanduan, pastilah efeknya negatif.
Sama seperti alkohol atau narkoba, belanja itu memberi kick. Puas kan dapat barang yang kita incar? Apalagi jika dapat potongan, meski saldo di rekening ujug-ujug negatif. Haha… Kerapkali, belanjaan itu bukanlah barang yang benar-benar kita perlukan atau hanya impulsif menuruti nafsu. Begitu sampai rumah, barulah menyesal dan merasa bersalah. Ini juga lumrah, tapi kalau keterusan hendaknya bicarakan baik-baik dengan pasangan. Sudah kebablasan? Jangan sungkan minta pertolongan ke terapi konselor…
Salam sop dan emping!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H