Bulan-bulan Maret-April di belahan bumi utara biasanya dikenal sebagai musim kawinnya katak, termasuk di Belanda. Amfibi ini, begitu udara mulai hangat, berduyun-duyun mencari lokasi bersanding dengan pasangannya. Sayang, mereka seringkali terperangkap di saluran air kota. Akibatnya, mereka hanyut terbawa arus atau mati kelaparan.
Bagaimana cara Belanda mengatasinya?
[caption id="attachment_404972" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Dokumentasi Pribadi"][/caption]
Awal musim semi begini, jangan heran apabila Anda melihat sekelompok orang berseragam kuning ‘mengobok-obok’ selokan di kota-kota Belanda. Mereka itu relawan Ravon, Organisasi Riset Reptil, Amfibi, dan Ikan Belanda. Tugasnya mencatat hewan-hewan apa saja yang berakhir naas nasibnya di saluran air kota.
Jangan kaget, setiap tahun, kutip data Ravon, sekitar satu hingga tiga juta hewan liar menemui ajalnya di saluran air Belanda. Ahad (22/3) kemarin, saya sempat melihat petugas DPU Amsterdam sedang mengontrol saluran air di Vondelpark, salah satu paru-paru kota Amsterdam. Jarang-jarang bisa lihat riol sewaktu tutupnya dibuka.
Bau got menyeruak ketika saya melewati rombongan mereka. Seorang petugas, Eddie, memegang jaring dan ember di tangannya. Sepatu lars karetnya berlumuran lumpur.
“Krek krek, krek krek!” suara kodok menarik perhatian pengunjung Vondelpark. Anak-anak mulai mengerubungi amfibi di ember itu.
Di ember lainnya binatang yang terjaring ditutupi dengan terpal. Isinya, menurut Eddie, kadafer kodok, salamander air, lintah, dan tikus. Binatang bernasib sial ini kebanyakan tergelincir di penutup saluran air.
“Dinding saluran air di Belanda dalamnya sekitar 60 senti hingga satu meter. Hewan-hewan itu tak bisa memanjat tembok licin dan akhirnya mati kelaparan,” jelas Eddie.
Solusinya, dinding gorong-gorong itu dipasangi jembatan atau titian dari aluminium. Sepintas, mirip parutan keju bentuknya. Titian ini fungsinya seperti anak tangga bagi reptil-reptil itu. Di pusat kota Amsterdam saja, ada sekitar 525 tutup riol yang dipasangi titian ini. Sekedar gambaran, sitir Ravon, di Belanda terdapat tujuh juta riol yang harus diinspeksi. Rencananya, titian ini bakal standar dirakit dari pabrik untuk seluruh Belanda.
Lantas, apa masalahnya? Kok kodok di comberan aja sampai ribut-ribut seperti itu?
Bangkai kodok-kodok itu nantinya bakal terkumpul di instalasi penyaringan air minum. Memang PAM Belanda sudah paham masalah ini, menyediakan dan teratur memonitor saringan serta memusnahkan bangkai-bangkai itu. Protokolnya jelas!
Alasan lain yang kerap terlontar biasanya datang dari pegiat flora dan fauna. Ketat lho undang-undang perlindungan tanaman dan hewan di Belanda. Binatang-binatang naas itu kadang termasuk spesies langka di Belanda atau Eropa.
Ribet, ya? Dulu sewaktu masih menetap di Tanah Air, omong-omong soal kodok, pikiran saya enggak jauh-jauh dari tahu pong dan swike. Hehe…
Kompasianers, pegiat satwa ini lumayan aktif di awal musim semi begini. Di jalur-jalur sepeda mereka memasang papan pengumuman dadakan bertuliskan “Awas, Lintasan Kodok!”. Banyak satwa ini tewas terlindas ban sepeda, motor, atau pun mobil. Tengah malam, aktivis ini juga patroli ‘menuntun’ kodok-kodok yang kesasar.
Ravon pun mengajak masyarakat di Belanda lebih peduli. Umpamanya membersihkan saluran air di pekarangan sendiri. Kadang, dedaunan dan kerikil menumpuk di situ. Memang sih teratur dibersihkan oleh petugas kotapraja, orang pun bayar iuran cukup tinggi. Namun, enggak ada salahnya kan meringankan beban lingkungan?
Eddie, petugas DPU di Vondelpark Amsterdam,dibantu pula oleh beberapa relawan. Menurutnya, satwa berdarah dingin ini baru aktif ketika suhu mulai menunjukkan 8°Celcius. Kodok-kodok betina bakal mencari lahan buat menyebarkan telurnya. Nah, nantinya jadi kecebong seperti di parit-parit Indonesia.
“Saat musim dingin, amfibi itu bersembunyi di tumpukan kompos, semak-belukar, gundukan tanah, atau di kayu-kayu lapuk. Mereka senang udara lembab atau cenderung basah,” terang Eddie.
2014 lalu, ia bersama rekan-rekannya, 100 grup swadaya masyarakat Belanda, berhasil menyelamatkan sekitar 350.000 amfibi. Jumlah ini sekilas tak berarti dibanding populasi tujuh juta amfibi di Belanda.
Toh, Eddie tetap optimis. “Minimal keturunan saya nanti tak hanya dapat melihat kodok melalui buku-buku atau Wikipedia!” harapnya.
Salam kodok ngorek!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H