Foto: Dingena Mol
Tepat sepuluh tahun lalu, Sri Karso (59), imigran Jawa-Suriname, membuka kedai makannya di Amsterdam, Belanda. Kini, ia jadi salah seorang sosok tenar dan disegani di kawasan Bijlmer, Amsterdam.
Sri Karso, biasa dipanggil Yu Sri, selalu tampil bersahaja dengan syal batiknya. Senyum sumringah tersungging di sudut bibirnya. Rambutnya sudah memutih. Ia selalu mengelak jika ditanya usia sebenarnya.
Perkenalan saya dengan Yu Sri terjadi tak sengaja. 2005 lalu, saya kerja paruh waktu di daerah Bijlmerdreef. Kawasan ini terus terang sering dipandang sebelah mata oleh penduduk Amsterdam. Isinya ‘cuma’ dealer mobil, perkantoran IT, dan sentra perabotan serta pernak-pernik rumah. Garing!
Padahal, Stadion Arena, ‘sarangnya’ klub sepakbola ternama Ajax berlokasi di sini, tak jauh dari Heineken Hall, gedung konser pop tempat artis-artis kaliber dunia manggung di Amsterdam. Di samping itu, Bijlmer punya reputasi buruk. Jarang orang berani ‘keliaran’ di sini sesudah matahari terbenam. Kriminalitasnya relatif tinggi.
Nah, sepuluh tahun lalu, putranya Yu Sri adalah salah seorang kurir di kantor saya. Suatu waktu, ia keceplosan mengumpat dalam Bahasa Jawa. Tak mau kalah, saya balas celetukannya. Akhirnya, kami malah akrab dan ia mulai promosi warung ibunya.
Kisah hidup Yu Sri cocok dijadikan novel. Ia pernah kerja di toko mebel dan di tukang jahit mereparasi pakaian. Toh, ujung-ujungnya Yu Sri kembali lagi ke dapur.
“Bakat saya memang masak, kok!” ujarnya.
Ia menambahkan, “Ini pun alasan praktis. Keluarga saya kurang mampu. Usaha bidang makanan otomatis perut kami juga terisi. Sisa di warung bisa dibawa pulang buat makan malam anak-anak!”
Anak-anak Yu Sri sekarang sudah dewasa dan ikut membantu mengelola kedai makan mereka, Padjak de Smeltkroes. Rumah makan ini populer di kalangan orang Jawa-Suriname dan sekaligus berfungsi sebagai wadah sosialisasi diaspora keturunan Jawa di Belanda. Yu Sri dianggap pengusaha Jawa sukses di Amsterdam.
“Saya selalu giat bekerja. Maaf, orang Jawa itu kadang malasnya minta ampun,” katanya.
Rumah makan De Smeltkroes, campur aduk atau acak adut terjemahan kasarnya, punya nama baik di Bijlmer. Apalagi, almarhum Johannes van Dam, kritikus kuliner yang paling ditakuti di Belanda, menilai masakan Yu Sri sederhana tapi otentik. Mudah ditebak, makin populerlah rumah makan milik Yu Sri ini.
“Dapur tradisional Jawa minim memakai bumbu. Hanya laos, daun salam, bawang putih, bawang merah, gula dan garam. Tanpa tambahan aroma ini dan itu,” jelasnya.
Yu Sri memasak persis seperti yang diajarkan neneknya di Suriname. Terbukti racikannya laris dan warungnya selalu padat.
Apa sih panganan terfavorit di kedainya? Bakabana alias pisang goreng dengan bumbu sate. Pisang goreng dipotong tipis membujur ini dibandrol € 1,25 per buah.
Pertama kali mencicipi, terasa aneh buat saya. Pisang goreng dicocol saus kacang. Namun, lama-lama bikin ngiler juga. Tak kenal maka tak sayang! Hati-hati aja ini bom kalori. Hehe…
Menu lainnya pun akrab buat telinga orang Indonesia, di antaranya tahu lontong, nasi rames, sate, telo (singkong), saoto (soto), pecel, gado-gado, lumpia, ikan teri, tempe, sayur kousenband (kacang panjang), brong brong (kripik pisang), dawet (cendol), dan nasi berkat (nasi komplit ala selamatan). Serasa pindahan ke Purwokerto, deh. Haha…
Sebetulnya, jadi juru masak bukan cita-cita Yu Sri. Ia ditipu pamannya sendiri. Yu Sri dikirim oleh ayahnya dari desa di Distrik Saramacca, Suriname, untuk mengikuti pendidikan di sekolah mode.
Namun, paman Yu Sri justru membawanya tiap hari untuk bekerja di salah satu warung kenalannya. Tugas Yu Sri, memotong ayam dan membersihkan sayuran. Yu Sri diwanti-wanti, tak boleh cerita ke ayahnya.
“Saya menurut saja, daripada kena gebuk gagang sapu,” kenangnya, sitir harian sore Het Parool.
Di usia 13 tahun, Yu Sri dijodohkan oleh pamannya dan setahun kemudian dikaruniai seorang anak. Perkawinannya kandas. Pamannya sudah punya calon lainnya.
Kali ini, Yu Sri menolak dan ingin memilih pasangannya sendiri. Pamannya setuju dengan syarat harus dapat dalam waktu enam bulan.
“Saya menikah dengan pemuda berumur 23 tahun dari warung yang sama. Pernikahan kami awet empat tahun dan kami diberi tiga momongan. Saya tak malu. Memang begitu kondisinya waktu itu,” urai Yu Sri berkaca-kaca.
Tahun 80-an, Yu Sri memutuskan hijrah bersama anak-anaknya ke Belanda. Mulanya ia bermukim di kota Den Haag sebelum menetap di kawasan Bijlmer, Amsterdam. Ia selalu bekerja untuk orang lain. Jika majikannya tutup atau liburan beberapa pekan, Yu Sri pun tak punya penghasilan.
Suatu saat, ia mengurus katering untuk sebuah pesta. Pemilik gedung perhelatan tersebut menanyakan di mana restoran Yu Sri. Ia heran, Yu Sri tak punya alamat usaha tetap dan menawarkan tempat di Bijlmer. Pemilik gedung itu sekaligus memberi uang jaminan.
“Tak ada bank yang mau memberi pinjaman ke saya,” terang Yu Sri.
Februari 2004, Yu Sri pertama kali membuka warungnya. Malam pertama, terhitung tujuh tamu. Ia sempat khawatir, bagaimana ia membayar uang sewa gedung nantinya. Untung, lambat laun, kedai makannya mulai dikenal dari mulut ke mulut.
Kompasianers, kawasan Bijlmer ini 20 tahun lalu masih jarang mengenal kafetaria ‘eksotis’. Anehnya, daerah ini disebut ‘gudangnya’ imigran dan sangat multikultural di Amsterdam. Jika Anda berkesempatan naik kereta bawah tanah dari pusat kota Amsterdam ke Bijlmer, dalam satu gerbong saya jamin terdapat lebih dari 100 kewarganegaraan duduk di situ.
Kendati sukses jadi pengusaha restoran, Yu Sri tetap berjiwa sosial. Sisa makanan di warungnya ia salurkan ke salah satu gereja komunitas orang Afrika, lalu dibagi buat pencari suaka atau pendatang ilegal.
Yu Sri pun selalu mensyukuri hidupnya. “Saya sehat dan punya semua yang saya butuhkan. Seandainya kakek saya dulu tak jadi kuli kontrak dari Jawa ke Suriname, saya tak akan berdiri di sini,” pungkasnya.
Salam anget dari Ngamsterdam!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H