Mohon tunggu...
Bawah Paras Laut ۞
Bawah Paras Laut ۞ Mohon Tunggu... lainnya -

~Diaspora Tanah Kumpeni, 40+, domisili di suburb Amsterdam. Paspor merah, hati tetap ijo. Mencoba menulis isu sehari-hari untuk dokumentasi pribadi. Sukur-sukur berguna bagi sesama.~\r\n\r\n“If you don’t like something, change it, if you can’t change it, change your attitude” -Maya Angelou-

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Djokdja Kena Toelah Padoeka Soeltan

2 November 2012   21:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:03 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1351890174698108253

Pak Poedji melepas kaos koetangnja. Lelaki jang sehari² bekerdja sebagai soepir itoe bergegas mengganti badjoenja dengan djarik dan blangkon dikepalanja. Perlahan, ia menapaki lima ratoes anak tangga dikoeboeran Hamengkoeboewono IX. Dipoesara batoe marmer itoe, Pak Poedji doedoek bersila dan menebar kembang setaman. Baoe kemenjan menjeroeak dipelataran makam itoe. Moeloetnja komat-kamit. “Apa harapan sampejan?” tanjakoe oesil. “Rahasija!” djawabnja.

[caption id="attachment_221297" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: Hollandsche Hoogte"][/caption]

Ia meroepakan orang aseli Djokdja. Pak Poedji poenja maoe, Hamengkoeboewono X tetap memimpin Djokdja. “Orang loear tak tahoe apa keinginan orang Djokdja. Tjoba sadja, seandainja pengoesaha Tjina bertampoek disini. Toserba dibangoen seenaknja. Koeboeran inipoen bakal digoesoer setjara paksa. Idealnja, Djokdja haroes berada ditangan orang Djokdja,” keloehkesah Pak Poedji mirip koeliah doktoral disekolah terkemoeka.

Pertengahan boelan Oktober jang liwat, Hamengkoeboewono X ditachbiskan djadi gouverneur sepandjang hajat Djokdja. Delapan tahoen terachir, Jang Moelia Presiden SBJ mengoesahakan agar goeverneur Djokdja dipilih langsoeng oleh rakjat, seperti halnja propinsi lain di-Indonesia. “Monarchie itoe tak sesoeai lagi dengan toentoetan djaman,” begitoe menjitir alasannya. Walhasil, rakjat Djokdja naik pitam dan toeroen kedjalan. Bahkan, mereka mengantjam referendoem.

“Orang Djokdja dan soeltannja itoe poenja hoeboengan bathien sepisial,” djelas Pak Poedji manggoet². “Apa pasal?” tjeletoekkoe penasaran. Ia langsoeng mendelik. “Djokdja itoe tetap dan selaloe akan istimewa. Ajahanda Srie Soeltan itoe pahlawan nasional. Biarpoen ia besar dikeloearga angkat Belanda, ia setoedjoe dengan proklamasi Indonesia jang dipelopori Soekarno,” tegas Pak Poedji berapi². Menoeroetnja, radja²lain tjoema antek pendjadjah Belanda.

Akibatnja, mereka kehilangan statoes dan wilajahnja setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sebaliknja, Hamengkubuwono IX mendapat perlakoean dan otonomie khoesoes. “Tengok itoe keratonnya. Seperti kota didalam kota,” tambah Pak Poedji masih bersemangat. Ia melandjoetkan, “Soeltan Hamengkoeboewono IX tetap berkoeasa setjara politis dan pernah djadi wakil presiden. Orang Djokdja sekaligoes menganggapnja pemimpin spiritoeal.”

Kami berdoea memoetoeskan sowan ke kraton. Bangoenan itoe berdiri megah ditengah kota. Dibeberapa soedoet, tampak aboe berserakan. Barangkali, sisa-sisa letoesan Goenoeng Merapi. Pendoedoek Djokdja pertjaja, soeltan mereka pelindung rakjat dari bentjana merangkap tangan kanan Nji Roro Kidoel. Ngarso Dalem didaoelat doea toegas berat: mentjegah Goenoeng Merapi batoek dan mendjaga soeasana hati Sang Pengoeasa Laoet Selatan.

Alkisah, metaphisika kedjawen ini toeroen-temoeren mendarah daging diorang Djokdja. “Wong Djokdja khawatir, goeverneur terpilih djoestroe membawa instabiliteit disini,” Pak Poedji memetjah kesoenjian. “Nanti orang malah bingoeng mau mendengarkan siapa: soeltan atau gouverneur? Soeltan itu pilihan hati rakjat. Ini djoega berarti demokrasi, toch?” oerainja bernada retoriek. “Pigimana djika Srie Soeltan kedapatan corruptie?” tjetjarkoe.

“Apa ada jang branie menggoegat soeltan. Akoe dengar padoeka poenja sengketa tanah dengan rakjat djelata. Pigimana djoega dengan ketoeroenannja nanti. Anaknja semoea prampoean. Boekanja peneroes tachta soeltan merangkap goeverneur Djokdja nanti haroes laki²?” potongkoe tak maoe kalah. “2006 laloe, Djokdja dihantam gempa. 2011, Goenoeng Merapi moerka. Pertanda apa ini?” tjerotjoskoe masih goesar.

Sekedjap, Pak Poedji laksana mati gaja. “Walah, sampejan lebih tjerdik tjendikia katimbang sahaja. Memang demikijan masalahnja. Hamengkoeboewono X seharoesnja lebih pedoeli dengan tradisi Djokdja, boekannja gondjang-gandjing masalah doeniawi goeverneur. Inget² ja… Dia itoe pemimpin kebathinan masjarakat Djokdja. Ambil tjontoh pendahoeloenja. Beloem loentoer charismanja. Lain ajahanda, lain ananda,” tjeloteh Pak Poedji njaris kehabisan napas.

Lirilir², tandoere wong soemilir. Ta’ idjo rojo².. Ta’ senggoeh penganten anjar

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun