Mohon tunggu...
Talisa Rizki A
Talisa Rizki A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Talisa adalah mahasiswa hubungan internasional yang gemar melakukan sorotan terhadap kemungkinan ketimpangan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Nikel dan CPO Indonesia Bentuk Hipokrisi Uni Eropa dalam Kacamata Neomerkantilisme

14 Maret 2023   08:08 Diperbarui: 14 Maret 2023   08:37 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kegiatan perekonomian suatu negara tidak lepas dari usaha untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya. Ketika kepentingan nasional suatu negara menjalankan upaya perlindungan maksimal terhadap produk dalam negerinya, maka sah saja mengatakan bahwa negara tersebut melakukan paham neomerkantilisme. Kata neo memiliki arti "baru" sehingga neomerkantilisme merupakan bentuk turunan atau pengembangan dari paham merkantilisme. Asumsi dasar merkantilisme yang meletakkan posisi kepentingan domestik menjadi yang utama dan mengesampingkan kepentingan global turut mewarnai merkantilisme gaya baru. Hasilnya, neomerkantilisme dalam upaya untuk memenuhi kepentingan domestiknya akan melibatkan campur tangan politik atau terdapat intervensi dari pemerintah dalam pengelolaan ekonomi di berbagai level analisis.

Gugatan Uni Eropa ke WTO terhadap kebijakan penutupan ekspor bijih nikel oleh Indonesia contohnya. Uni Eropa menyatakan Indonesia telah melanggar Pasal XI:1 GATT 1994 yang di dalamnya melarang pembatasan kuota dan perizinan impor atau penjualan dalam rangka ekspor. Dari situ, bijih nikel dinilai berada di luar pengecualian penerapan. Untuk itu melalui gugatan yang dilayangkan, Uni Eropa berusaha membuat Indonesia tunduk pada keputusan WTO yang menyatakan Indonesia kalah dalam gugatan tersebut. Tunduk dalam artian membuka kembali ekspor bijih nikel beserta melakukan pembayaran ganti rugi gugatan. Dalam hal ini Uni Eropa telah melakukan upaya pemenuhan kepentingan dengan berusaha mengintervensi dan mengubah kebijakan Indonesia demi terpenuhinya kebutuhan industri Uni Eropa terhadap bijih nikel.

Padahal sebelumnya, Uni Eropa sebenarnya pernah melakukan upaya yang sama terhadap komoditas minyak kelapa sawit Indonesia jenis CFO. Uni Eropa berusaha untuk melindungi produk dalam negerinya berupa minyak nabati dari zaitun dan biji matahari dengan melakukan pemberhentian impor CFO dari Indonesia. Selain itu, Uni Eropa juga menyatakan proses produksi minyak kelapa sawit Indonesia problematik. Mulai dari indikasi pembalakan untuk alih fungsi lahan sawit, adanya pekerja anak sebagai melanggar HAM sehingga dari kedua itu menunjukkan bahwa Indonesia tidak berperan terhadap upaya cita-cita global yaitu pemanfaatan berkelanjutan. Uni Eropa enggan mendukung atau menggunakan produk yang melakukan hal-hal tersebut.

Dari kedua pertikaian tersebut, Uni Eropa begitu hipokrit terhadap Indonesia. Tindakan ekonomi Uni Eropa mulai dari pemenuhan kepentingan negara dengan intervensi, upaya pembatasan impor demi keuntungan industrinya sendiri, dan menciderai prinsip pasar bebas dilakukan dengan penuh kesadaran. Akan tetapi lihat ketika Indonesia berusaha melakukan upaya yang sama terhadap Uni Eropa. Indonesia berusaha memakmurkan negara dengan menaikkan nilai tambah dari SDA yang dimiliki. Melalui keinginan untuk mengolah bahan mentah dalam negeri, diharapkan perekonomian dan masalahnya dapat cukup teratasi.  Uni Eropa langsung melayangkan gugatan dan menghasilkan kekalahan di pihak Indonesia. Tindakan Uni Eropa yang semacam ini perlu dipertanyakan, mengapa ketika Indonesia hendak melakukan upaya yang sebagaimana Uni Eropa biasa lakukan justru menuai gugatan? Padahal, kekayaan sumber daya alam murni mutlak milik kedaulatan Indonesia. Cara apapun yang hendak dilakukan guna pemanfaatan SDA seharusnya menjadi hak Indonesia. Indonesia ingin merasakan hasil nyata dari eksplorasi SDAnya.

Analisis melalui kacamata neomerkantilisme, tindakan Uni Eropa tidak lepas dari pengaruh paham merkantilisme yang sudah populer sejak Uni Eropa dahulu menggalakkan kolonialisme dan imperialisme. Hal yang sama bagaimana bangsa barat tetap ingin menguasai sumber daya untuk keuntungan mereka dan membiarkan atau bahkan membuat negara lain tetap dalam keadaan yang sama.

Neomerkantilisme memandang sumber daya ekonomi dan strategi perekonomian adalah senjata utama negara yang telah mapan sebagai bentuk upaya memajukan kepentingan nasionalnya. Kepentingan umum tidak menjadi tanggung jawab negara melalui kacamata paham ini. Khusus pada Uni Eropa dalam menjalankan upaya hegemoni ekonomi, mereka menggunakan "nilai-nilai Eropa" sebagai justifikasi tindakan ekonomi mereka yang seringkali merugikan. Nilai Eropa tersebut meliputi pemenuhan hak asasi manusia, persyaratan standarisasi tenaga kerja yang layak, dan komitmen terhadap lingkungan. Beberapa kali dalam kasus dengan negara yang berbeda selain Indonesia, Uni Eropa sudah sering bertindak koersif dengan menarik akses pasar bagi negara yang menurutnya berseberangan dengan "nilai-nilai Eropa" tersebut.

Tindakan ekonomi nilai Uni Eropa menjadi merugikan ketika upaya penarikan akses pasar menyasar produk strategis atau komoditas terbesar suatu negara. Seperti tindakan Uni Eropa terhadap CFO Indonesia yang tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut sehingga ditariklah akses pasar ke Uni Eropa. Kemudian, permasalahan daging sapi Perancis yang disinyalir melakukan eksploitasi lahan hutan Amazon juga mendapat ancaman penurunan permintaan dari pangsa ketika Uni Eropa lebih mengakui daging Brazil jauh lebih murah. Melihat kondisi perekonomian antarnegara begitu sensitif terhadap motif, menuntut negara untuk trampil dalam menghadapi semua skenario yang ada. Mulai yang paling menguntungkan hingga yang paling buruk.

Pada skenario paling buruk dikhawatirkan bangsa barat menginginkan zero-sum game untuk setiap pertikaian yang terjadi. Cita-cita Indonesia untuk mampu memanfaatkan SDA secara hilirisasi demi kepentingan nasional akan berhadapan dengan skenario zero-sum game barat. Nikel bisa jadi adalah awal dari kekalahan berikutnya. Apabila terus dibiarkan maka negara tidak akan dapat berkembang. Oleh karena itu, Indonesia perlu bersiap untuk menghadapi tantangan masa depan. Diplomasi ekonomi perlu diupayakan dalam menghadapi situasi rawan gugatan dengan zero-sum game. Indonesia dapat mengajukan penawaran-penawaran untuk menjalankan fungsi negoisasi guna menggeser permainan ke arah non-zero-sum atau win-win game. Ketika suatu keputusan dapat membawa keuntungan bagi kedua belah pihak, sebaiknya jalan itu yang dipilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun