Hal yang mengkhawatirkan adalah ketika setelah melakukan self-diagnoses, remaja kemudian dapat menggunakan hasil "diagnosis" mereka sebagai tameng untuk kemalasan. Mereka mungkin menggunakan kondisi yang mereka percayai sebagai alasan untuk menghindari tanggung jawab atau tugas-tugas yang sulit atau membutuhkan usaha ekstra. Mereka mungkin menganggap bahwa mereka memiliki alasan yang valid untuk tidak melakukan tugas-tugas tersebut karena mereka mengklaim mengalami gejala kondisi kesehatan tertentu. Hal ini dapat menjadi pola perilaku yang merugikan karena remaja dapat mengabaikan tanggung jawab mereka, seperti tugas sekolah atau kewajiban keluarga, dengan alasan bahwa mereka sedang menghadapi masalah kesehatan mental. Mereka mungkin juga menunda pencarian bantuan profesional karena merasa bahwa mereka telah menemukan jawaban melalui self-diagnoses mereka sendiri.
Penting untuk diingat bahwa self-diagnoses tidak menggantikan proses diagnosis yang akurat dan bantuan profesional yang memadai. Jika remaja mengalami masalah kesehatan mental, penting bagi mereka untuk mencari dukungan dan bantuan dari ahli kesehatan yang berkompeten untuk mendapatkan penanganan yang tepat.
Kemajuan zaman tidak selalu membawa kebaikan. Penggunaan teknologi juga perlu diiringi dengan hal-hal dasar untuk tameng dapat memfilter pengaruh negatif yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, jika memang kalian merasa ada sesuatu yang salah dengan mental kali, jangan sekali-kali melakukan Self-Diagnoses. Segera carilah penanganan terbaik untuk kesembuhan mental diri. Perlu diingat bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan jasmani, kesehatan mental yang baik akan menumbuhkan pikiran positif sehingga tubuh dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H