Hari Jumat, 18 April 2014 bertempat di Desa Pantai Purnama Sukawati, kami menghadiri prosesi palebon atau banyak orang lebih mengenal dengan sebutan upacara Ngaben. Ayah angkat kami seminggu sebelumnya telah wafat saat terkena serangan jantung mendadak di lapangan tenis Polda Bali. Tentu saja ini mengejutkan keluarga besar.
Beliau meninggalkan 1 orang istri dan 6 orang anak. Tentu saja prosesi ngaben ini memerlukan biaya yang tidak sedikit dan harus melalui banyak proses rangkaian acara ritual adat yang menjadi pakem di Bali.
Kami mengikuti sejak pukul 09.00 pagi, keluarga dan para pelayat sudah berdatangan di rumah duka. Para tamu didominasi oleh rekan-rekan kerja almarhum yang notabene adalah anggota kesatuan Polda Bali.
Arak-arakan prosesi mulai berjalan sekitar pukul 09.30 dari rumah kediaman keluarga almarhum menuju sebuah tempat yang agak luas dan biasanya sering dijadikan tempat prosesi Ngaben.
Semua prosesi kami ikuti, sejak pembakaran mayat hingga melarung abu jenasah yang sudah dikremasi. Banyak hikmah dan sisa-sisa cerita yang tentunya bukan saja menguras tenaga kami dan juga air mata. Hampir 3 kilometer kami harus berjalan mengikuti iringan Jenasah dari rumah menuju setra. Istri saya yang berbaju muslim lengkap dengan hijab pun ikut mengiringi arak-arakan. Sempat saya mendengar ada komentar sejuk di telinga dari salah seorang warga yang berdiri menonton iringan Ngaben.
"Baru kali ini saya melihat ada muslim ikut menghantarkan palebon (Ngaben)," kata seorang ibu.
[caption id="attachment_343398" align="aligncenter" width="546" caption="Istri ikut iringan Palebon (dok.pri)"][/caption]
Sambil mengusap air mata, sedikit terbesit kebanggan tersendiri karena memang benar, saya adalah seorang muslim berdarah bali. Karena ibu saya asli dari Denpasar dan ayah berasal dari Semarang Jawa Tengah. Tentu saya merasa bangga karena Bali adalah tanah air saya yang kini saya pijak adalah tempat terakhir saya mencari rezeki dan kebahagiaan bersama keluarga. Saya tidak sedang merantau, tapi pulang kampung ke tanah kelahiran ibunda tercinta.
Saya sendiri tidak begitu memahami urutan prosesi dari upacara Ngaben. Yang pasti kami mengikuti semua dengan seksama dan khusyuk. Upacara resmi kemiliteran dari Polda Bali kami ikuti dengan berdiri tegap laksana seorang abdi polisi di tengah lapangan panas yang terik. Kremasi jenasah , penyucian abu , sampai abu jenasah dilarungkan di laut Pantai Purnama Sukawati kami ikuti. Semua menjadi sebuah rangkaian kegiatan penuh di hari itu buat kami.
[caption id="attachment_343399" align="aligncenter" width="463" caption="Di depan foto jenasah ayah angkat (dok.pri)"]
![14030660881672251695](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14030660881672251695.jpg?t=o&v=770)
Ada beberapa makna filosofi Ngaben yang kami dapatkan sebagai seorang muslim berdarah Bali dan sangat mencintai tanah dan air Bali.