[caption id="attachment_355776" align="aligncenter" width="493" caption="Penampakan Bangunan dari Google Street View Bulan Juni 2013 (Dok. pribadi dari capture screen Google street View)"][/caption]
Pemikiran ini muncul saat penulis menemukan sebuah kejadian luar biasa yang menurut penulis seharusnya tidak terjadi karena bisa merugikan negara hingga milyaran rupiah. Dan solusi permasalahan yang terjadi sebenarnya simple, jika memang alasan yang dikemukakan adalah minimnya biaya Pemerintah Daerah melakukan peninjauan dan pemetaan wilayah lokasi bangunan Wajib Pajak. Mengapa teknologi penggambaran yang dibuat oleh Google Map tidak dimanfaatkan oleh Pemda ?
Tentunya dengan pemahaman bahwa gambar bangunan yang muncul di google bukanlah gambar paling up to date (terkini), setidaknya ini mengurangi "lolosnya" bangunan tersebut tidak muncul dan tidak diperhitungkan di SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) PBB.
Kisah nyata ini terjadi di Denpasar. Ada bangunan besar di tanah pinggir jalan raya tapi ternyata selama 6 tahun tidak pernah masuk dalam pemetaan wilayah dan tidak pernah diperhitungkan dalam SPPT PBB yang harus dibayar Wajib Pajak. Lho , kok bisa ?
Begini ceritanya.
Di Tahun 2008, kami melakukan transaksi jual beli tanah dengan seseorang, sebut saja namanya Pak A. Â Ia pemilik sebidang tanah yang kami kontrak sudah beberapa tahun. Karena kami pikir, daripada harus memperpanjang kontrak, dan mumpung si pemilik sudah tidak sabar menjual tanahnya, jelas saja , tanah ditawarkan pertama kali kepada kami. Kami pun menyanggupinya untuk membeli.
Dan karena uang yang kami miliki tidak juga begitu banyak, sebagai penggantinya, kami menawarkan tukar guling dengan pemilik tanah. Jadi tanah A kami tukar dengan tanah kami yang sama-sama berada pada satu jalur jalan. Transaksi jual beli pun sudah dilaksanakan dengan baik.
Sesudah nya kami menganggap transaksi selesai dan tidak ada permasalahan yang berarti.
Hanya ada sedikit rasa ganjalan saja. Di tahun 2009 hingga 2014 ini, kami masih saja dikirimi SPPT PBB oleh Dinas Pendapatan Daerah Denpasar. Nama tertagih dalam SPT tersebut adalah nama istri saya (yang dulu memang tanah tersebut diatasnamakan istri saya sebagai pemilik tanah yang ditukar guling). Lebih ajaibnya lagi, karena setiap tahun kami menerima SPPT PBB tanah itu (yang notabene bukan milik kami lagi) kami jadi tahu kejelekan si A.
Dalam SPPT PBB tersebut, sama sekali tidak ada perhitungan berapa pajak bangunan yang harus dibayar. Yang tercantum hanyalah pajak bumi saja (tanah) yang diperhitungkan. Nominal PBB yang harus dibayar pun menjadi murah, hanya sekitar Rp.600 ribuan saja setiap tahun. Padahal di atas tanah tersebut, si A sudah menyewakan 2 buah ruko masing-masing berlantai 2.
Artinya ini si A tidak pernah melakukan balik nama sertifikat tanah dari nama istri saya kepada namanya sendiri sebagai pembeli dan pemilik sah tanah tersebut. Ia memilih tidak balik nama sertifikat dan tidak membuat IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) saat membangun ruko. Hebatnya lagi, sudah selama 6 tahun berjalan, A hanya membayar 600 ribu saja PBB nya.