Mohon tunggu...
Agung Soni
Agung Soni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bismillah...Alhamdulillah Wa syukurillah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ridwan Manusia Gerobak, Derita Tak Pernah Habis, Pantang Ngemis

3 Februari 2014   17:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:12 2032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Denpasar seperti menyimpan sejuta kisah manusia urban yang mengais kehidupan di jalanan. Salah satunya, Ridwan (42) yang hidup bersama kedua anaknya yang masih bocah. Sulung (6) anak laki-laki kurus yang matanya sedang menderita "bintilen" (ada daging kecil di kelopak mata kirinya) dan bungsu (4) gadis cilik yang masih senang bercanda ria dengan kakaknya.

Pertama mengenal Pak Ridwan, begitu saya biasa menyapa, di pinggir jalan Sudirman dekat Pertokoan besar, ia sedang menggendong gadis ciliknya dengan kain sambil menarik gerobak di hari yang terik matahari serasa membakar kulit. Duh, hati manusia mana yang tidak menjadi terenyuh melihat adegan dramatis seperti itu. Gerobaknya sarat muatan barang-barang bekas, hasil kerjanya sedari pagi mencari barang bekas seperti plastik, kaleng, karung, atau apa saja yang bisa menjadi uang. Pernah sekali, saya melihat Pak Ridwan duduk di tepi trotoar jalan dengan wajah berkeringat mencoba menenangkan gadis kecilnya itu.

Saya mendekat dan memberi air mineral yang sedari tadi saya pegang, belum diminum.

"Panas ya Pak...," kata saya sambil mengulurkan air mineral.

Ridwan mulai akrab dengan saya. Ia banyak bercerita tentang dirinya.

Ridwan asli Surabaya. Tadinya hidup di Lampung bersama kedua orang tuanya sebagai transmigran. Namun karena beberapa kali terus mengalami gagal panen dan kehidupan yang tidak menentu, ayah Ridwan memutuskan kembali ke Surabaya.

Badai kehidupan menerjang ketika ayah dan ibu Ridwan wafat saat Ridwan masih berstatus pelajar SMP. Ridwan drop-out. Hidupnya sebatang kara. Tidak ada satu orang saudara pun yang bisa dimintai pertolongan. Benar-benar sendirian.

Ridwan melanjutkan hidup sebagai anak gelandangan yang tidak pernah memikirkan bagaimana bisa bersekolah. Sudah bisa makan dan minum hari ini saja sudah bagus. Untuk tidur dan buang air, Ridwan memilih tidur di emperan pertokoan di Surabaya. Beralaskan koran atau karton, terkadang beratap langit.

Saat Ridwan dewasa, ia ditolong oleh seorang pria separuh baya yang menaruh iba. Bapak ini menjodohkan Ridwan dengan anak perempuannya. Mereka menikah. Dan setelah anak keduanya lahir, istri wafat karena penyakit yang misterius dan meninggalkan Ridwan bersama seorang anak lelaki dan seorang bayi cantik.

Hidup pun terus berlanjut. Sambil membawa bayi dan seorang bocah, Ridwan pernah menyusuri Kota Surabaya sambil menggendong bayi dan mencari barang bekas. Hasil pencariannya selama sehari, ia jual kepada pengepul. Lumayan, cukup untuk makan dan membeli air selama 2 hari.

"Saya pindah  ke Denpasar karena di Surabaya tidak aman, Pak. Baru naruh badan di depan toko yang sudah tutup, tiba-tiba pemiliknya keluar, memaki-maki dan menyuruh saya pergi. Pernah ada yang mengusir dengan mukul. Pernah juga diacungi pisau, sambil teriak-teriak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun