Mohon tunggu...
Agung Soni
Agung Soni Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bismillah...Alhamdulillah Wa syukurillah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pak Angin, Derita Pengamen Sepuh Jalanan dan Tunanetra

20 Agustus 2014   06:04 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:05 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang hari ini terasa terik panas mentari membakar kulit. Masing-masing orang sedang sibuk dengan aktivitasnya. Di kawasan Tukad Batanghari Denpasar, tempat kami sehari-hari melayani konsumen mobil pun begitu ramainya.

Kawasan ini terkenal sebagai pusat penjualan mobil bekas yang berkualitas dan berharga miring. Saya dan keluarga sudah tinggal di sini selama beberapa tahun. Tempat kami jarang, bahkan tidak pernah ada pengemis ataupun pengamen yang lalu lalang. Paling-paling pemulung yang berjalan mencari barang rongsokan. Itu pun tak begitu banyak jumlahnya.

Saat suasana jalan Tukad Batanghari yang sibuk siang tadi tiba-tiba muncullah sosok seorang kakek yang terlihat berjalan pelan-pelan. Tangan kanannya memegang sebuah payung yang diikat dan kelihatannya berfungsi untuk menuntun dirinya berjalan di tepi jalan Kota Denpasar yang ramai lalu lintas, sedang tangan kirinya memegang sebuah mikrofon usang berdebu yang mengeraskan suara beliau nan merdu.

Kedua bahunya pun harus memikul beban yang tidak ringan. Tali tas kiri yang melilit di bahu kirinya memikul sebuah mesin radio pengeras yang menjadi sumber musiknya. Dan bahu kanannya menyangga sebuah tas hitam sebagai bekal makanan dan minumannya.

[caption id="attachment_354038" align="aligncenter" width="542" caption="Pak Jumangin di pinggir Jalan Tukad Batanghari Denpasar (Dok.Pri)"][/caption]

Suara musik dangdut  mengalun, mengiringi suara beliau sambil berjalan tertatih-tatih. Sontak, kami terkejut. Ada karyawan kami yang langsung berdiri, menyeberang jalan dan menghampiri beliau sambil memberikan uang sekadarnya.

Saya memberi isyarat agar dibawa masuk ke bengkel saja, biar rasa haru ini tidak membuncah dan mengepalkan rasa penasaran yang tiada berujung. Siapa beliau? Mengapa selemah dan sesepuh ini, beliau masih berada di jalanan panas ini?

[caption id="attachment_354041" align="aligncenter" width="330" caption="Pak Angin duduk dan berbincang bersama kami (dok.pri)"]

14084633421770075773
14084633421770075773
[/caption]

[caption id="attachment_354049" align="aligncenter" width="400" caption="Kartu Periksa Rumah Sakit Milik Pak Jumangin (dok.pri)"]

14084640482034107558
14084640482034107558
[/caption]

Pak Jumangin, tapi  ia lebih suka menyebut dirinya dengan “Pak Angin”. Lahir, besar dan menikah di Kota Probolinggo Jawa Timur. Memiliki seorang istri dan dikaruniai 5 orang anak yang masih kecil. Yang sulung dititipkan kepada orang tua di Probolinggo, dan 4 anak yang lain ikut bersama Pak Angin di Denpasar. Mereka tinggal di rumah kost sempit di Jalan Ubung dekat terminal bis Ubung. Pak Angin harus membayar sewa kost Rp 350.000,- per bulannya.

Pak Angin adalah tulang punggung keluarga. Istrinya sehari-hari bekerja mencuci pakaian tetangganya. Upah yang diterima tak seberapa.

Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maka Pak Angin terpaksa menjadi “pengamen dadakan” di jalanan Kota Denpasar. Tiap hari ia menempuh perjalanan hingga puluhan kilometer. Dan untuk bisa pulang, ia mengandalkan angkutan kota yang lewat dengan cara bertanya pada supir atau kondekturnya, “Apa ini arah ke Ubung?”  Jika “iya” maka selamatlah Pak Angin hari itu bisa pulang dengan aman. Jika “tidak” maka Pak Angin harus menunggu angkot yang benar-benar akan membawanya ke Ubung.

Pak Angin mengaku, awalnya ia ragu untuk menjadi pengamen jalanan. Selain mata yang tidak bisa melihat, kaki yang sudah terasa lunglai dan usia yang tidak muda lagi, Pak Angin juga khawatir pada keselamatan dirinya. Tapi, kembali lagi, Pak Angin ingat akan anak-anaknya yang butuh makan dan hidup. Maka berjalanlah Pak Angin setiap pagi hingga petang menyusuri jalanan Kota Denpasar.

Kekuatan Pak Angin untuk terus bernyanyi sepanjang jalan membuat saya terpesona. Tanpa menghiraukan, ada ataupun tidak ada yang memperhatikan dan mendengarnya, Pak Angin terus memegang mikrofonnya menyanyikan lagu dangdut yang merakyat.

[caption id="attachment_354047" align="aligncenter" width="567" caption="Jumangin berdendang demi anak istri (dok.pri)"]

1408463736120417327
1408463736120417327
[/caption]

Pak Angin bercerita kalau matanya dulu masih normal untuk melihat. Namun karena sebuah kecelakaan telah merenggut kesehatan mata dan kakinya.

Dan sekali lagi, kembali aku dibuat kagum oleh semangat Pak Angin. Sempat ia hendak ditabrak sebuah motor, dan terjatuh. Tapi ia tidak mengeluh, tidak menangis ataupun mengumpat. Ia kembali berdiri melangkahkan kakinya dan bernyanyi demi sesuap nasi untuk keempat anaknya.

Ini membuat aku akhirnya tersadar.....

Pak Angin menyadarkanku bahwa aku adalah makhluk Allah yang harusnya lebih banyak bersyukur. Mungkin aku akan banyak keluh kesah dan kesal bila aku diserempet motor hingga terjatuh.

Siapa yang terus berprasangka baik kepada Tuhan Mahaperkasa, maka ia akan diberi kekuatan untuk bersyukur dan memaafkan. Inilah nilai tamparan keras ke pipi saya.

Ah, Pak Angin, aku pun menitikkan air mata saat engkau berpamitan dan sambil tak kuasa menahan haru, kutatap mesin tape recorder yang kau bawa. Ada sebuah kata yang Pak Angin tempelkan. “DOA”. Simple dan mengena.

Pak Angin akan terus berjalan, bernyanyi menghibur warga kota yang mungkin sedang sibuk memikirkan pekerjaan mereka.

“Tidak semua laki-laki.....bersalah kepadamu..contohnya aku....masih mencintaimu.”

Langkah Pak Angin yang terseok dan lemah renta akan terus membayang di pelupuk mataku. Pak Angin adalah manusia yang menang dan berkuasa pada dirinya sendiri, karena ia menang dari emosi kotor insani untuk mengecam pahitnya kehidupan. Ia cenderung sangat mudah untuk melupakan semuanya.

Selamat  Menghibur Warga. Kami mendoakanmu, Pak Angin

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun