Mohon tunggu...
Agustinus Takndare
Agustinus Takndare Mohon Tunggu... -

Thank you God

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bunda Teresa

10 Oktober 2011   14:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:07 2543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bunda Teresa, barangkali, sosok yang tak pernah tahu siapa dirinya. Atau, jika pun dia tahu, tak pernah selintas pun dia mau membicarakan dirinya. Dan begitulah. Ketika dalam konferensi pers di USA, sewaktu dia melawat untuk menceritakan kehidupan kaum miskin di Calcuta, untuk kesekian kali dia ditanyakan tentang sejarah hidupnya, dia tak menjawab. Bahkan, ketika pertanyaan itu diubah wartawan, menanyakan perekembangan di dalam gereja, masalah emansipasi wanita, juga kerohanian dunia Barat, serta cara pewartaan Injil, dia bergeming. "Sungguh, saya tak tahu apa-apa tentang hal itu," katanya, tenang. Tapi, ketika wartawan bertanya apa visinya untuk hidup bersama kaum miskin, Bunda meradang. "Kalau Anda melakukan pekerjaan ini untuk mencapai kemuliaan diri, Anda hanya akan bertahan satu tahun, tidak lebih. Hanya jika Anda melakukan itu untuk Allah, Anda akan maju terus, apa pun rintangannya." Ya, Bunda Teresa adalah yang maju terus. Ia pergi kemana pun, dan bicara tentang pelayanan kasih. Ia tidak menumpuk uang untuk tarekatnya, tapi menyalurkan kepada orang-orang kecil, hina dan papa, dan melayaninya, dengan kesungguhan hati. Ia tak pernah memakai metode apa pun untuk mendekati kaum papa; yang ia selalu pakai adalah bahasa hati, kata-kata kasih. Ia selalu berbicara pelan, sederhana, hampir terbata, namun secara jelas mewartakan empati pada kemiskinan. Ia selalu memulai pekerjaannya, dengan sebuah niat yang lepas dari diri sendiri: "Kami berbuat karena Yesus, untuk Yesus, dan bersama Yesus. Sesuatu yang indah selalu untuk Tuhan, memberi meskipun diri sendiri menderita karena-Nya, melayani-Nya dalam orang-orang yang menderita dan terbuang." Jika usai berbicara, dan banyak yang tersentuh, dan bertanya pada Bunda Teresa, apa yang dapat mereka lakukan, bibirnya itu akan tersenyum, dan berkatalah ia dengan kalimat yang nyaris selalu sama, jawaban yang memperjelas visinya, yang bergerak dengan yakin, perlahan tapi pasti: "Mulailah, pelan saja, satu, satu, satu...." Lalu, ia akan segera menyambung dengan kalimat lain, "Mulailah di rumah dengan mengatakan yang baik pada anak-anakmu, kepada suamimu, atau istrimu. Mulailah dengan melakukan apa saja, sekecil apa pun, sesuatu yang indah sebagai pelayanan pada Allah." Jika ditanya, apakah pelayanannya pada kaum papa itu sebagai kritik, Bunda akan tersenyum. pengikutnya akan selalu berkata, "Tak ada kritik di sini, seperti juga tak pernah ada perintah. Kami hanya melayani..." *Memilih bekerja* Bunda Teresa dilahirkan di Skopje, Yugoslavia, dengan nama Agnes Boyakhul, 26 Agustus 1910. Ia masuk biara Toretto di Irlandia 1928. Setahun sesudahnya, ia dikirim ke India untuk menjalankan novisiatnya di sana dan memulai karya sebagai guru, mengajar di SMP St. Mary Calcuta. Ia mengajar di sana hampir 20 tahun. Pada 1946, dalam perjalanan menuju retret tahunannya, ia berkata, "Aku mendengar bisikan, untuk meninggalkan segalanya. Aku mendengar bisikan untuk mengikuti Dia ke lorong-lorong kumuh dan melayani orang-orang miskin dan terlantar." Bisikan itu menggugahnya. Bunda pun mengajukan permohonan kepada pimpinan Biara Loretto, dan pada tahun 1984 ia meninggalkan biara Loretto. Dalam ketaatan pada Uskup Agung Calcuta, ia memulai hidup di tengah-tengah orang-orang miskin, mendirikan sekolah di daerah kumuh itu dan mulai mengajari anak-anak miskin di situ. Ia juga belajar obat-obatan sederhana dari para suster Biarawati Karya Kesehatan (BKK) dan mulai mengunjungi rumah-rumah orang sakit dan merawat mereka. Perhatian dan pelayanan Bunda ini menggugah banyak gadis alumni Sekolah St. Mary, dan memilih bergabung dengan Bunda, menjadi pelayan bagi orang-orang yang menderita itu. Tahun 1952, Bunda bertemu dengan wanita dua yang dibuang, sekarat di pinggir jalan, badannya penuh dengan semut dan sebagian digerogoti tikus. Ia mengangkat wanita itu dan membawanya ke rumah sakit. Tapi, Bunda harus menangis, karena tak ada rumah sakit yang mau melayani. Sambil terisak, Bunda membawa ibu sekarat tadi ke walikota, dan meminta pertolongan untuk melayani orang-orang miskin itu, agar hidup mereka terselamatkan. Tapi, tetap saja bukan ke rumah sakit. Petugas kesehatan membawa Bunda ke sebuah gedung tua, dekat sebuah kuil Hindu. Gedung itu tak terpakai, hanya emperannya yang dijadikan inapan para pengunjung kuil. Petugas kesehatan menawarkan gedung itu pada Bunda. Dan hanya sehari, gedung itu hampir penuh oleh kaum hina dan sakit dari Calcuta. Sekarang, gedung yang bernama Kalighat itu masih berfungsi sama, sebagai tempat kaum miskin mendapat harap. Bertahun-tahun Bunda mengembangkan pelayanan itu. Ia melayani hampir setiap penderita yang dia jumpai, memberi perlindungan, memelihara anak yatim-piatu, memberi makan yang lapar, memberi pakaian bagi yang telanjang, membuka klinik keluarga berencana, dan memberi asa bagi penderita lepra. Ia mendirikan Tarekat Misionaris Cintakasih, yang kini beranggotakan lebih dari 3000 anggota, yang tersebar, dan bekerja di 52 negara. Pengikutnya ini selalu berpegang teguh pada kaul keempatnya, "Dengan segenap hati dan seluruh diri, memberikan pelayanan bebas kepada mereka yang paling miskin". Dalam iklim dunia, ketika religiusitas kian menipis, suster Misionaris Cintakasih ini malah tumbuh subur. Untuk memahami hal itu, Bunda punya penjelasan yang sederhana. "Ada banyak wanita, dan hanya pekerjaan seperti ini yang dapat memberi suatu kehidupan: doa, kemiskinan, dan pengorbanan." Pelayanan Bunda diakui dunia, dan ia terkenal, dipuji, dan Nobel Perdamaian pun singgah padanya, tahun 1979. Namun, kemasyuran ini tak membawa dampak apa-apa padanya, ia tetap saja lugu, dan gembira di tengah kaum miskin papa di Calcuta. Ia berjalan dengan kaki telanjang, dan tidur dari satu rumah ke rumah lain di lokasi penampungan, ia makan apa yang mereka makan, dan hanya punya dua buah baju, selalu begitu, mencucinya sendiri. Ia tahu, banyak yang mendatangi, mengunjunginya, tapi melihat pelayanannya hanya sebagai wisata. Bunda tak hirau. Ia tetap saja menyisiri sendiri rambut gadis India yang terlantar, ia memadamkan listrik saat ekaristi, atau ketika doa, atau di kapel tak lagi butuh lampu untuk membaca. Ini cara dia untuk dapat hidup dalam kesederhanaan. "Tak ada uang yang diberikan kepada orang miskin, adalah pemborosan jika kita membiarkan listrik menyala tanpa diperlukan," jelasnya. Berpuluh tahun melayani, ia tak pernah tampak lelah, selalu gembira, ceria, karena itulah unsur yang paling penting dalam suster Misionaris Cintakasih. "Buatilah apa yang kau mau buat, tapi dengan gembira, dan hiasi hari dengan hati penuh cinta," demikianlah dia menasehati suster-susternya. Beberapa orang yang pernah berjumpa dan bicara dengannya, selalu berkata, Bunda adalah karunia terbesar di zaman ini. Tapi, pujian itu, justru dia cela. "Kenapa terlalu banyak kata-kata, bukan kerja. Biarkanlah mereka berkata apa saja tentang pelayanan kita...." katanya, yang tetap memilih meninggal, di tengah keluarganya, kaum hina papa, di Calcuta, India.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun