Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Jerit Tangis Poltak

1 April 2017   09:17 Diperbarui: 2 April 2017   14:00 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepuluh kilometer sudah Poltak membawa mikroletnya dengan tekanan gas yang dangkal, namun angkotnya belum juga penuh. Baru terisi empat penumpang; tiga pelajar dan wanita paruh baya yang memegang keranjang plastik kosong yang tampaknya hendak belanja ke pasar. Ah, Poltak masih ingat betul, betapa dulu jumlah peminat angkutan kota konvensional tidaklah sama dengan sekarang. Dulu, apabila ia ‘narik’ di waktu subuh seperti saat ini, mikroletnya pasti sudah penuh kendati baru berjalan sepuluh kilometer dari rumah pemiliknya. Para penumpang rela duduk berdesak-desakkan demi secepatnya mendapat angkot yang akan mengantar mereka ke tempat tujuan, bahkan para penumpang laki-laki rela bergelayutan di pintu sekalipun tetap membayar ongkos sesuai tarif dan dengan begitu pula mengesampingkan keselamatan mereka.

Akan tetapi, semenjak angkutan kota jenis online beredar situasinya kini sungguh berubah. Angkutan kota konvensional macam mikrolet tak lagi diminati masyarakat, bahkan seolah dilupakan. Di tambah lagi kemacetan lalu lintas ibu kota yang tak kunjung membaik membuat angkutan ini kian tersisihkan.

Poltak sebenarnya tak terlalu memusingkan keberadaan angkutan kota jenis online yang memang terasa menggerus pendapatannya. Ia masih bisa menerima itu dengan kepala dingin walau tetap ada rasa jengkel terselip di hatinya.

Poltak sedikit merasa beruntung, sebab ketika angkutan kota jenis online muncul ia tak lagi memiliki tanggungan yang besar. Sihar sudah bekerja, malah tiap bulan anak sematawayangnya itu rutin memberikan uang 500 ribu kepada Tiur, ibunya, untuk menambahi uang belanja. Padahal, kalaupun ia tak memberikan uang, Poltak merasa dirinya dan Tiur masih bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari. Lantaran, Tiur sendiri pun bekerja berjualan bumbu dapur di pasar. Kendati demikian, perasaan senasib membuat rasa iba Poltak kepada teman-teman seprofesinya seringkali membuat dadanya renyuh hingga kadang menimbulkan rasa ngilu di ulu hati. Terlebih kepada mereka yang memiliki anak masih sekolah. Aih, Poltak bisa merasakan betapa tuntutan biaya hidup pastilah terasa mencekik leher mereka. Membuat mereka terus dirundung rasa cemas. Membikin jantung mereka gelisah. Bahkan membuat tidur mereka tak nyenyak karena memikirkan biaya ini-itu.

Poltak tahu apa yang mereka rasakan karena tiap kali berkumpul di terminal, teman-temannya itu acap berkeluh-kesah perihal pendapatan mereka. Dulu, setiap hari, mereka bisa membawa pulang uang 150 ribu tetapi kini sulit sekali. Bisa membawa uang 100 ribu dalam sehari saja sekarang sudah sangat beruntung.

Di pangkalan, jika teman-temannya itu tengah membagi keluh-kesahnya, Poltak hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Mulutnya tertutup tetapi hatinya ribut. Dalam diamnya ia turut prihatin tetapi apa daya? Jaman terus berkembang, dan perkembangannya begitu cepat sehingga manusia ‘kolot’ macam dirinya tak mampu mengikuti arusnya.

Sementara, di kalangan sopir muda, tak sedikit yang beralih ke angkutan kota jenis online lantaran tak bisa terus mengandalkan transportasi mereka yang lama. Tetapi bagi mereka yang lahir di jaman baheula dan gagap teknologi mau tak mau tetap bertahan. Di balik kemudi, Poltak mendesah, bisa tahu cara menelpon dan mengirim sms saja bagiku rasanya sudah hebat, batinnya.

Keluh-kesah teman-temannya itu lambat-laun meradang dari hari ke hari, bagai luka basah yang kian lama kian lebar dan dalam. Yang kemudian berganti menjadi nada keputusasaan, keputusasaan oleh sebab tak mendapatkan jalan keluar dari kebuntuan yang mereka alami, dan pelan-pelan keputusasaan itu pun memunculkan kedengkian di relung-relung hati mereka - yang tak pelak menciptakan jejak berupa guratan-guratan halus di wajah mereka yang kian menua.

Sarpin, salah satunya. Ia begitu muak dengan keadaan ini. Ia masih punya tanggungan seorang putri berusia sembilan tahun dan istri yang tengah hamil tua. Sebelumnya ia berharap kepada putra sulungnya yang baru lulus SMA untuk membantunya mencari uang, tetapi anak itu tak bisa diandalkan, malah cenderung menyusahkan, lulus SMA ia menjadi sopir tembak. Itu tak menjadi soal bagi Sarpin selama uang yang didapatkan anaknya halal, tapi permasalahannya uang itu selalu dihabiskan untuk berjudi dan meminum minuman keras.

Poltak menggeleng-gelengkan kepala mengingat curahan hati Sarpin itu, bisa ia bayangkan betapa berat beban yang dipikul Sarpin sebagai kepala keluarga. Kini Sarpin yang biasa meramaikan suasana di terminal dengan tingkah konyol dan cerita-cerita jenakanya jadi lebih sering murung di pangkalan dengan sorot matanya yang suram. Wajahnya yang tirus pun senantiasa masam, dan pundaknya yang dulu kurus namun tegap kini lebih banyak membungkuk, seolah seluruh persoalan dunia tengah dipanggulnya sendirian. Sarpin pun jadi mudah tersinggung. Seringkali ia salah paham menanggapi kelakar teman-temannya hingga berujung pada perkelahian yang brutal.

Tak ayal ada rasa syukur yang merambat dalam hati Poltak karena memiliki anak yang baik macam Sihar. Anak yang cakap hatinya; murni budinya. Sejak kecil anak itu tak pernah minta yang macam-macam. Apalagi melakukan tindak kriminal, kenangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun