Matahari masih menggeliat di ufuk timur saat kedua mata Tito membelalak seperti hendak mental keluar dan mulutnya menganga lebar sebesar kepalan. Betapa Tito kaget mendapati sangkar burungnya yang kosong. Padahal baru kemarin ia beli seekor murai batu dan dimasukkan ke sangkar itu, tetapi kini burung itu lenyap bagai disulap.
Tito mengusap matanya berkali-kali, tetapi pemandangan di depannya tetap sama, sangkar itu kini hanya sangkar yang kosong. Tak berpenghuni. Tito heran bagaimana bisa burung itu kabur sedang kondisi sangkarnya masih bagus? Tidak ada salah satu dari batang kayunya yang merenggang ataupun patah, pintunya pun terkunci kuat oleh kawat. Kalau dicuri, kenapa maling itu tidak membawa kandangnya sekalian? Kenapa mesti repot-repot mengeluarkan burung itu dari sangkar?
Digondol kucing, tikus, atau musang? Tidak-tidak, agar bisa memangsa burung itu, pertama-tama mereka harus merusakkan sangkarnya terlebih dulu untuk kemudian masuk. Tetapi kondisi sangkarnya itu masih utuh. Apa mungkin burung itu ditelan siluman? Masa iya di zaman teknologi sekarang masih ada siluman? Tito menduga-duga dengan pikirannya yang kacau. Perasaan Tito tak keruan. Kaget, kesal, bingung, dan penasaran bercampur-aduk. Pasalnya, murai batu bukan jenis burung yang murah. Ia beli dengan harga satu setengah juta, itu pun belum berkicau karena masih anak.
Tito merasa malang sekali. Belum sempat menikmati burung itu, tahu-tahu sudah lenyap. Seperti ada pisau yang mengiris-iris tipis hatinya memandang sangkar burungnya yang sekarang. Dengan perasaan kecut, dibiarkan Tito sangkar itu teronggok di lantai teras, lalu masuk ke rumah, menemui Tuti yang masih tidur di kamar.
“Bu, Ibu....”
Tuti yang masih mengantuk menyahut sekenanya saja. Antara sadar dan tidak sadar ia bergumam, "Hmm."
“Ada yang mau Bapak tanya, Bu,” kata Tito sambil menggoyang-goyangkan lengan istrinya itu.
“Tanya apa to, Pak?”
“Burungku hilang! Ibu ada lihat?”
“Hilang?" Tuti terkekeh. "Bukannya baru tadi subuh Ibu mainin burung Bapak?”
Tito mengernyit. Kedua alisnya nyaris saling tubruk. “Maksud Bapak burung yang murai batu lho, Bu! Hilang! Tidak ada di sangkar!” terang Tito. "Ibu ada lihat?"