Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu Tumbuhan

25 September 2016   13:55 Diperbarui: 25 September 2016   19:15 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan tetapi, keadaan berubah, sejak bu Soetoyo terseret pada arus pemikiran kolot itu.

Penyebabnya, bu Soetoyo depresi karena suaminya meninggal di pagi hari di atas kasur tanpa ada keluhan sakit apa pun sebelumnya. Dan kematian itu datang sehari sesudah nyai Umi menyuburkan pohon mangga bu Soetoyo yang sudah lima tahun tak berbuah.

Sebelum bu Soetoyo terjebak dalam pemikiran itu aku sempat melihat pak Kodir berbincang dengannya ketika warga kampung Muara Kapuk menyelawat. Dua hari setelah itu, bu Soetoyo bersama pak Kodir dan teman-teman bekas tukang kebun lainnya rajin menyambangi rumah pak RT. Di hari-hari berikutnya bu Soetoyo jadi sering mengajak mereka berkumpul di rumahnya hingga tengah malam. Entah apa yang mereka lakukan di sana.

Seminggu berlalu, makin banyak warga yang terhasut, termasuk mereka yang pernah mendapat bantuan jasa dari nyai Umi. Mereka kini menganggap nyai Umi bagai perempuan tua yang kejam yang setiap kata dan tindakannya sewaktu-waktu bisa menjadi pisau yang membunuh mereka. Tepat empat puluh hari setelah kematian suaminya, bu Soetoyo bersama pak Kodir, teman-teman bekas tukang kebun, dan sebagian warga kampung Muara Kapuk sepakat mengusir nyai Umi dari kampung Muara Kapuk. Yang aku heran, mereka sudah mendapat surat persetujuan dari pak RT dan pak RW.

***

Bulan bulat semangka pucat di angkasa. Puluhan warga kampung Muara Kapuk berbondong-bondong menyambangi gubuk nyai Umi. Kulihat bu Soetoyo dan pak Kodir turut dalam kerumunan itu. Di tangan mereka tergenggam obor, kayu balok, dan bongkahan-bongkahan batu. Mereka berjalan sembari berteriak.

“Usir! Usir! Usir!” teriak mereka bersahut-sahutan. 

Langkah mereka berhenti begitu menginjakkan kaki di pekarangan gubuk nyai Umi. Namun, mulut mereka masih meneriakkan kata yang sama. Nyai Umi keluar dengan wajah yang kuyu. Ia berdiri di muka pintu. Dua lingkaran hitam menggantung di kantung matanya.

“Ada apa bapak dan ibu ramai-ramai datang ke rumah saya?” sapa nyai Umi dengan senyum yang lelah.

“Kami ingin malam ini nyai pergi dari kampung ini!” tandas bu Soetoyo .

Nyai Umi terkejut. Keningnya yang keriput mengerut. “Kenapa?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun