Mohon tunggu...
Samridwan
Samridwan Mohon Tunggu... Penulis - Mochammad samsi Ridwan

Pekerja teks komersial yang berusaha menjadi buruh kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Balada Lelaki Warung Kopi

4 Maret 2020   08:51 Diperbarui: 4 Maret 2020   08:53 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I
Kembali ia menyulut api.
Lelaki-lelaki itu bertukar kata; tentang tahta. Tak peduli
-detak jarum jam yang semakin keras dalam sunyi.
Celana dekilnya pun ikut serta, mesra menemani.
Rambut-rambut gondrongnya berdesir,
Disapu angin-angin kecewa, yang melekat di dada mereka.
Mengulas cerita tentang pemuda bangsa yang mulai tua,
Tua akan jiwanya, dengan mata yang tak lagi merah.

II
Meja depan penuh sodoran;
Rokok ketengan jadi kawan...
/Kopi kental jadi teman...
Tikus selokan jadi santapan...
Anggap mereka guling istana cukup mudah
Lipat kemeja bukan sudah hanya gaya,
Satu tanda siap sudah ikut kerja.
"Bedil dan lara terpampang di muka"

III
Lelaki muda dengan raup tua.
Raganya bukan batu, yang tercipta dalam debu.
Sungguh terlukis tua karena matanya.
Mata itu, hanya pejam saat dipaksanya.
Mata itu layaknya pijar dalam malam keramat.
Menerawang segala yang tak dianggap.
Memincing kepada siapa yang berkhianat.
Memijar pelitanya, kepada yang sekarat.

Jember, 23 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun