I
Kembali ia menyulut api.
Lelaki-lelaki itu bertukar kata; tentang tahta. Tak peduli
-detak jarum jam yang semakin keras dalam sunyi.
Celana dekilnya pun ikut serta, mesra menemani.
Rambut-rambut gondrongnya berdesir,
Disapu angin-angin kecewa, yang melekat di dada mereka.
Mengulas cerita tentang pemuda bangsa yang mulai tua,
Tua akan jiwanya, dengan mata yang tak lagi merah.
II
Meja depan penuh sodoran;
Rokok ketengan jadi kawan...
/Kopi kental jadi teman...
Tikus selokan jadi santapan...
Anggap mereka guling istana cukup mudah
Lipat kemeja bukan sudah hanya gaya,
Satu tanda siap sudah ikut kerja.
"Bedil dan lara terpampang di muka"
III
Lelaki muda dengan raup tua.
Raganya bukan batu, yang tercipta dalam debu.
Sungguh terlukis tua karena matanya.
Mata itu, hanya pejam saat dipaksanya.
Mata itu layaknya pijar dalam malam keramat.
Menerawang segala yang tak dianggap.
Memincing kepada siapa yang berkhianat.
Memijar pelitanya, kepada yang sekarat.
Jember, 23 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H