Mohon tunggu...
Tajudin Buano
Tajudin Buano Mohon Tunggu... -

Pojok Kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yang tersisah dari Raden Abdullah Palembang, di Batu Merah

21 Februari 2015   19:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:46 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah Kebanggaan Sekaligus Keprihatinan

Pesona kerajinan tangan (Handicraft) kulit Kerang di sepanjang Desa Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon, Maluku telah mendunia. Ragam motif produk khas Maluku ini sudah mengecap dinginnya udara beberapa negara di Benua Eropa, seperti Belanda dan Austria lewat event promosi. Namun, seiring berjalannya waktu, keprihatinan akan eksistensi pekerjaan yang sudah turun temurun ini mulai dirasakan para pengrajin.

Catatan: TAJUDIN BUANO-Ambon

Jumat (30/1) pagi itu, di sudut kanan Kerajinan Kerang Raden Abdullah Palembang, Batu Merah, Khairun (49), serius memotong huruf yang sudah diukir bentuknya dari kulit kerang dengan gergaji khusus. Dia terlihat serius memotong dan merapihkan limbah kerang membentuk huruf. Huruf-huruf tersebut akan ditempelkan pada plakat sesuai pesanan pelanggan.

Disudut kanan ruangan itu di pajang sebuah gambar atau hiasan dinding bermotif udang (lobster), ikan-ikan kecil dan rumput laut berukuran 90x70 sentimeter. Hiasan ini menggambarkan kehidupan bawah laut yang indah dan tenang. Dua hiasan dinding lainnya masing-masing berukuran 57x77 sentimeter dan 60x80 sentimeter juga dipajang disudut kiri.

Sementara satu hiasan dinding dengan motif ukiran wajah sebuah keluarga mantan pejabat di kota ini yang diletakan diatas meja menunggu pengambilan dari pemilik. Ukiran wajah-wajah ini di hargai 6 juta rupiah. Selain itu terdapat plakat kecil berukuran sekitar 21x16 sentimeter yang sudah jadi dibuat. Aneka ragam motif sudah dibuat, seperti kereta kuda, kapal Pinisi, Kaligrafi, burung, kuda dan lainnya.

Harga kerajinan tangan kulit kerang sangat bervariatif, tergantung ukuran dan tingkat kerumitan. Untuk plakat, standarnya 500.000 rupiah dengan ukuran 21x16 cm (senti meter). Sementar hiasan dinding 50x70 cm berkisar antara 1.000.0000-2.000.000 rupiah.

Setidaknya ada tiga tahapan pembuatan kerajinan kulit berbagai motif; hiasan dinding dan plakat, liontin, gelang, cincin dan bros dan Kaligrafi. Pertama, kulit kerang yang sudah dibersihkan dengan air, kemudian di gurinda untuk mendapatkan permukaan yang rata.

Kedua, di gambarkan pola, lalu di gergaji berdasarkan lukisan atau pola yang sudah terbentuk. Selanjutnya kepingan-kepingan cangkan kerang yang sudah berbentuk ini ditempelkan pada plakat atau dikaitkan pada liontin untuk aksesoris. Waktu penyelesian kerajinan tergantung ukuran dan tingkat kerumitan.

Rumah Kerajinan Kulit Kerang Raden Abdullah dirintis sendiri oleh Raden Abdullah Palembang sejak 1932 atau 83 silam. Kini, usaha tersebut dilanjutkan Husein Palembang, anak dari Raden Abdullah Palembang yang berpusat di jalan raya Batu Merah tersebut.

Abdullah Palembang dulunya berprofesi sebagai pengrajin yang membuat hiasan dari kepingan tembaga. Setelah menemukan kulit kerang, Abdullah kemudian mencurahkan semua imajinasi seni ukirnya untuk membuat produk kerang mutiara yang punya nilai estika dan ekonomi tinggi.“Beliau kemudian mewariskan ilmu seninya kepada anak-anaknya untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai pengrajin kerang mutiara sampai saat ini,”kata Khairun, lelaki berkacamata ini.

Khairun dan teman-temannya merupakan generasi ketiga dari pengrajin kulit kerang Batu Merah. Ia sendiri melakoni pekerjaan tersebut sejak 1979. Kala itu, Khairun masih duduk di kursi SMP. Pekerjaannya sebagai pengrajin bukan sekadar pemenuhan ekonomi keluarga semata. Namun, juga sebagai upaya pelestarian kerajinan kulit kerang yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Berkat kreativitas yang dimiliki, pada tahun 1995 dan 1996, Khairun dan 10 pengrajin kulit kerang asal Batu Merah dikontrak oleh Departemen Ketenagakerjaan RI. Pada saat itu, diadakan sebuah pameran internasional kerajinan tangan di Austria.

Selama dua tahun, mereka dikarantinakan di salah satu sentra kerajinan tangan di Bekasi untuk membuat aneka macam produk kerajinan tangan dari kulit kerang. Bahan bakunya langsung dari Dobo. Hasil kerajinan ini kemudian diikutsertakan dalam pameran internasional di Asutria oleh Depnaker.

Kerajinan kulit kerang yang dikerjakan Khairun dan teman-temannya sudah terjual hingga ke Jakarta. Banyak orang Jakarta memesan plakat berupa tulisan arab (Kaligrafi), ukiran wajah dan beraneka ragam hiasan dinding lainnya. “Kemarin orang Semarang memesan plakat. Ada yang memesan 3-4 buah dan ada juga yang hanya satu,” papar Khairun.

Pengalaman lain juga datang dari Udin (52), salah satu pengrajin lainnya di CV Kerajinan Kerang Mutiara Abdullah. Sederet wajah pejabat negara pernah diukir Udin dengan bahan kulit kerang ini. Diantaranya, mantan Presiden Republik Indonesia duaperiode, Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu dan ketua umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Surya Paloh.

“Banyak ya kalau dihitung. Saya juga pernah membuat ukiran wajah beberapa jenderal dan orang penting lainnya. Biasanya kalau untuk ukiran wajah dibutuhkan waktu sekitar 2 minggu,” ucap Udin, sambil menunjuk ke salah satu hiasan dinding bermotif ukiran wajah yang sudah jadi.

Keprihatinan

Geliat usaha kerajinan kulit kerang Batu Merah dan Galunggung tak selalu menghadirkan cerita yang manis. Ketidakstabilan penghasilan dan keberbatasan alat, merupakan salah satu kendala bagi pengrajin untuk terus menekuni pekerjaan tersebut. Penghasilan para pengrajin rata-rata 1 Juta rupiah tiap bulan. Itupun tergantung pesanan dan besar-kecilnya produk yang akan dibuat.

Selain itu, kulit kerang yang selama inidipasok dari Dobo, Maluku Tenggara dan Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, sering tersendat-sendat. Belum lagi harga kerang yang tidak stabil sehingga dapat mengganggu kinerjauntuk memenuhi kebutuhan pasar. Dalam setiap hiasan dinding saja, kerang yang digunakan dari berbagai macam jenis, antara lain kerang mutiara, kerang mabe, kerang jape-jape dan berbagai macam jenis keong.

Kurangnya perhatian pemerintah daerah memberikan modal bagi pengrajin menjadi masalah lain yang juga menggerus semangat generasi muda untuk menekuni pekerjaan tersebut. Buktinya, sekian banyak pengrajin di Batu Merah yang beralih profesi sebagai tukang ojek dan pembuat aksesoris batu mulia yang saat ini membumi di kota Ambon.“Banyak pengrajin sudah beralih profesi sebagai tukang ojek dan ke batu akik. Pahadal kalau mau dihitung, penghasilan sebagai pengrajin lumayan bagus,” ungkap Khairun.

Pemeritah daerah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku dan Kota Ambon, memang sering menggelar pelatihan bagi pengrajin. Baik dalam bentuk kelompok maupun individu. Setiap kali pelatihan, banyak pengrajin, terutama yang masih muda mengikutinya. Namun, untuk melanjutkan apa yang sudah diberikan terasa sulit. Lagi-lagi, berhubungan dengan modal dan bahan baku.

Bahan baku kulit kerang yang dibeli dari Dobo harganya berkisar antara 60.000-70.000 ribu rupiah. Pengrajin di Batu Merah dan Galunggung biasanya membeli kulit kerang dari pengepul yang mendatangkan dari Dobo. Harga kulit kerang mungkin bisa sedikit murah jika pengrajin membeli langsung di Dobo, tanpa melalui pengepul.

Dengan harga yang cukup tinggi dan terus mengalami peningkatan membuat sebagian pengrajin justru membeli kulit kerang dari Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Hal ini yang pernah dilakukan Ali Usemahu(49), perajin kulit kerang di kawasan Galunggung.

“Olehnya itu, sering saya pesan kulit kerang dari Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Selain harganya yang relatif murah, sekitar 20.000 per kilogram, juga punya kualitas yang bagus. Padahal di Maluku, kita tahu banyak kerang. Tapi pemerintah justru mengekspor ke luar negri untuk pembuatan kancingdan debunya di buat bedak,”tutur Ali, saat ditemui di rumahnya, Minggu (1/2) yang mengaku menggeluti pekerjaan sebagai pengrajin sejak SD.

Menurut Ali, pemerintah kurang memperhatikan pengrajin, terutama modal untuk pembelian bahan baku. Bahkan, sudah berulang kali keluhan tersebut disampaikan ke pemerintah, namun tidak satupun digubris. Sebab, mulusnya penghasilan pengrajin juga sangat tergantung dari ketersediaan bahan baku.

Biasanya hasil kerja kerajinan kulit kerang karya tangan Ali berupaka plakat, aksesoris, dan hiasan dinding langsung dibawa ke beberapa tokoh souvenir di kota Ambon. Diantaranya tokoh Sulawesi, Petak Sepuluh, dan tokoh Oleh-Oleh lainya.

Tetapi para pengrajin lebih bersyukur jika ada pesanan langsung di tempat kerja mereka. Harga setiap produknya ditetapkan sendiri oleh pengrajin tanpa negosiasi berbelit dengan pemesan.

Kondisi ini berbeda, jika meraka menjulanya ke tokoh souvenir. Ke tokoh souvenir, tidak terlalu mahal mereka menjualnya. Misalnya plakat dengan harga 300.000. Harga ini akan naik dua kali lipat jika kembali oleh pengusaha yang punya tokoh souvenir, yaki 700.000 rupiah per plakat. “Jadi kalau kami terima pesanan luar, yah enak (bagus). Karena kami yang tentukan harga sendiri,”kata Ali, membandingkan.

Sama seperti potret pengrajin di Batu Merah, Ali dan beberapa pengrajin lainnya di kawasan Galunggung, Kecamatan Sirimau juga merasa prihatin terhadap peralihan profesi sebagian pengrajin. Saat ini masih tersisa sekitar 10 orang pengrajin di kawasan Galunggung.

Jumlah ini sudah menurun drastis dari tahun-tahun sebelumnya yang berjumlah puluhan perajin. Pengrajin yang hengkang ini, kemudian bekerja sebagai nelayan, tukang ojek dan pekerjaan lainnya yang bisa menyanggupi kebutuhan rumah tangga mereka.

“Salah satu penyebab pengalihan profesi perajin kerang mutiara ini, adalah tidak adanya bantuan modal dari pemerintah daerah untuk mempertahankan usaha mereka sebagai pengrajin kulit kerang,” Ali menggerutu.

Tetap Berusaha

Meski profesi sebagai pengrajin perlahan mengalami kendala, namun Khairun dan pengrajin lainnya tetap semangat untuk melestarikan pekerjaan yang sudah menjadi warisan itu. Bagi, Khairun dan kawan-kawan, selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, motivasi mereka adalah melestarikan pekerjaan tersebut.

Khairun membayangkan, jika suatu saat nama Batu Merah yang sudah dikenal di seluruh Indonesia dan dunia sebagai satu-satunya sentra kerajinan tangan dari kulit kerang di Maluku ini, hilang atau tenggelam. Ini yang mereka kwathirkan dan akan mencari solusi secarabersama.

“Sayang kan kalau mulai dilupakan oleh orang Batu Merah sendiri atau tidak diketahui oleh orang Maluku. Olehnya itu, kami para pengrajin terus dan akan mencari solusi agar tetap dilestarikan,” ujarnya.

Waktu kian berlalu, para pengrajin dan pengusaha kulit kerang Batu Merah terus berjibaku mempertahankan tradisi seni ukir ini. Mereka tegak melawan kehempitan ekonomi dengan berteman dan berdaya bersama limbah kerang. Peran pemerintah yang lebih signifikan, mungkin menjadi roh untuk menghidupi nyawa kerajinan kulit kerang agar tidak hilang dan hidup lebih lama lagi.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun