Tak Ada Guru, Lebih Baik Menambang
Ketika semua daerah sedang berkompetisi dalam dunia pendidikan, ingin menjadi yang terbaik, sebagian sekolah di pegunungan Rana, Kecamatan Fena Leisela, Buru, Provinsi Maluku justru terpaksa ditutup. Tidak ada guru. Sebagian siswanya pun memilih membantu orang tua menambang emas, meski cita-cita mereka setinggi langit.
Tajudin Buano-Ambon
Yastrib Akbar Souwakil dan sejumlah anggota Himpunan Mahasiswa Kabupaten (Himkab) Buru, tak menyangka ketika mengunjungi Wagrahi, salah satu desa di pegunungan ranah, kecamatan Fena Leisela 21 Februari 2016. Mereka mendapati Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satu Atap Waegrahe yang sunyi dari aktivitas belajar mengajar, tak seperti sekolah lain pada umumnya.
“Pada saat kami datang kesana untuk mengajar, masih tersisah 5 orang siswa yang punya niat untuk belajar. Kelas I satu orang, kelas II 2 orang dan kelas III dua orang,”Akbar menuturkan realitas yang terjadi di SMP Satu Atap, Wagrahi kepada kepada Ambon Ekspres, Sabtu (13/3).
SMP Satu Atap Waegrahe yang berada di desa Waegrahi, kecamatan Fenaleisela danau Rana. Berdinding dan berlantai papan. Memiliki tiga ruang belajar. Satu ruangan lainnya dipakai sebagai kantor. Beratapkan zenk. Dibangun tahun 2012. Saat ini, jumlah murid sekolah ini sekitar 50 orang.
Pada awal diaktifkan, sekolah ini memiliki 3 orang guru honorer dan kepala sekolah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tapi, seiring berjalan waktu, dua guru honorer terpaksa berhenti mengabdi. Ini disebabkan, kepala sekolah jarang masuk sekolah, lebih banyak di kota Namlea.
Kemudian gaji guru-guru tersebut kurang lebih selama tiga tahun tak dibayar lunas. Mereka hanya mendapatkan gaji enam bulan. Itupun dicicil. Permasalahan inilah yang kemudian menyebabkan dua guru berhenti mengajar.
Beruntung sekolah ini masih memiliki seorang guru perempuan. Jena Waemese, namanya. Setelah dua guru lainnya berhenti mengajar, justru Jena gigih melanjutkan tugasnya sebagai guru yang ingin mencerdaskan anak bangsa di danau ranah.
Bahkan, suatu ketika, lanjut Akbar, masyarakat Waegrahe mencoba membongkar sekolah tersebut karena kecewa dengan tingkah kepala sekolah yang tidak memperhatikan guru, siswa dan kepentingan sekolah. Tapi, Jena dan suaminya kukuh untuk mempertahankan sekolah itu.
“Saat kami tanyakan ibu Jena Waemese, dia mengatakan, bahwa tetap akan bertahan mengajar di SMP Satu Atap Waegrahe. Tapi beliau tidak pernah diperhatikan oleh kepala sekolah. Karena itu, beliau seperti sudah putus asa. Sekarang beliau sudah berhenti mengajar,”tutur Akbar.