Dari seminar “Desentralisasi Asimetris: Pelaksanaan Otonomi Daerah Berkeadilan-Forum Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan se-Indonesia 2014, Ambon, Maluku, 15 Oktober 2014”
Catatan: Tajudin Buano
Punya kekhususan yang beragam. Mulai dari karakteristik kewilayahan, adat dan budaya, entitas, sejarah serta kekayaan sumberdaya alam. Namun Maluku belum diakui sebagai daerah yang memiliki kekhususan itu. Sementara Aceh, Papua, Papua-Papua Barat,DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogjakarta sudah diberi label daerah dengan otonomi khusus dan daerah dengan keistimewaan.
Padahal perjuangan untuk mendapatkan pengakuan itu sudah dimulai sejak 2005 silam. Melalui desakan provinsi kepulauan. Sebab desentralisasi simetris, yang selama ini terapkan dianggap, tidak mapan lagi untuk menjawab tuntutan dan kesejehtaraan masyarakat, melalui pembagian APBN yang seragam.
Maluku Maluku Utara, Nusa Tengara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, Sulawesi Utara serta Riau merasa dirugikan. Karakteristik kewilayahan yang berbentuk gugus pulau dan laut pulau, punya tantangan yang berbeda dengan daerah daratan dalam proses pembangunan.
Desakan sudah dilakukan. Namun Rancangan Undang-Undang Percepatan Pembanguan Daerah Kepulauan (RUU PPDK) DPR RI periode 2009-2014, ditolak. Meski begitu pemerintah daerah dari kedepalan provinsi itu masih optimis, apa yang menjadi tuntutan mereka bisa diakomodir dalam pemerintahah yang baru dalam format Desentraliasi Asimteris.
Dalam rangka mengupayakan terwujudnya keinginan bersama itu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Universitas Pattimura Ambon menggagas, seminar nasional yang betajuk”Desentraliasi Asimetris” Rabu (15/10) di Swissbell Hotel, Ambon. Ini merupakan rangkaian kegiatan Rapat Kerja Forum Dekan Fisip, FIA, FIS, FIKOM, STIA LAN, STKAS perguruan Tinggi seluruh Indonesia 2014.
Seminar dipandu oleh akademisi Fisip Unpatti Profesor Tony Pariella. Hadir sebagai narasumber Profesor Porwo Santoso pakar Ilmu Pemerintahan dan Ketua Program Studi Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, Drs Teguh Setyabudi Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, Kementrian Dalam Negri, Wakil Gubernur Maluku dan Rektor Universitas Pattimura Thomas Pentury. Hadir juga dosen ilmu sosial politik dan komunikasi politik dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri.
Dalam pemaparan materinya, Santoso mengatakan, akselerasi pengembangan asimetris desentralisasi harus perlu dilakukan, terutama bagi daerah yang memiliki eksponen lokal yang dominan yang bisa dikembangkan untuk kesejahteraan. Tentu untuk mencapai otonomi yang berkeadilan
“Tentu saja desentralisasi dalam bentuk ini adalah pengembangan tata pemerintahan yang mengandalkan eskponen lokal untuk mencapai tujuan nasional maupun internasional,”ujar Santoso.
Menurutnya, penerapan desentralisasi asimetris bagi daerah yang memiliki konsep pembangunan kemaritiman (kepulauan) seperti Maluku dan tujuh provinsi lainnya, dapat memberikan ruang yang cukup untuk mengelolah sumberdaya alam yang dimiliki.
Dikatakan, sebagian wilayah Indonesia, lebih khusus Maluku adalah laut. Namun, selama ini lanjutnya, agenda pembangunan konteks kelautan atau kemaritiman tidak dilakukan dengan baik. Dampak yang ditimbulkan kebijakan tidak seimbang ini, kemudian memunculkan desakan otonomi khusus ataupun perlakuan khusus bagi daerah yang memiliki karakteristik khusus tersebut.
“Nah, sadar akan potensi kemaritiman, beberapa pemerintah daerah yang wilayahnya bersifat kepulauan bekerjasama mengusulkan UU. Ironisnya, ketika mengetahui bersatunya daerah-daerah dalam konteks maritim ini, pemerintah kemudian semacam menaruh curiga dari pada mengapresiasinya. Padahal ujung-ujungnya, yang dipersoalkan adalah kebijakan fiscal (anggaran),”bebernya.
Untuk menjadikan asimetris sebagai kerangka mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah atas berbagai kekayaan alam, adat istiadat dan budaya dari daerah tetentu, maka perlu di kedepankan nasionalisme. Baik lokal maupun nasional. Ini penting, agar tidak menyebabkan desintegrasi kehidupan masyarakat dalam lokus NKRI.
Sementara itu, Setyabudi mengatakan, desakan provinsi kepulauan yang sudah diperjuangkan lebih daru sepuluh tahun ini, sudah diakomodir dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Namun, kata dia yang menjadi masalah adalah perlu perumusan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Dia berjanji, PP yang akan dikeluarkan dapat mengakomodir seluruh aspirasi dan keinginan masyarakat Maluku khususnya dan tujuh provinsi kepulauan lainnya. PP tersebut juga dijamin, tidak akan bertentengan dengan substansi UU pemerintahan daerah.
“Soal provinsi kepulauan itu sudah terakomodir dalam substansi UU Pemerintahan daerah nomor 23 tahun 2014. Khususya pasal 5, 27 sampai dengan 30. Nah masalahnya tinggal bagaimana substansi yang tercover dalam UU Pemda kemudian dijabarkan lebih detail lagi didalam peraturan pemerintah sebagaimana disebutkan dalam pasal 30 UU nomor 23 itu. Kalau bisa cepat kenapa harus diperlambat,”katanya.
Gubernur Maluku Zeth Sahuburua dalam pemaparan materinya mengungkapkan, desentralisasi asimetris sangat penting dalam penyelenggaraan otonomisasi daerah di provinsi yang berciri khas kepulauan.
Konsep ini, memberikan arti dan kedudukan yang strategis bagi Maluku sebagai suatu provinsi kepulauan, maupun ketujuh provinsi kepulauan lainnya. Apalagi, pemerintahan Indonesia yang baru telah mengedepankan konsep kemaritiman sebagai kebijakan pembangunan nasional.
Menurutnya, sebagai daerah yang memiliki ciri khas tersendiri, wajib hukumnya untuk menuntut pemberlakuan khusus. Tentu dengan tujuan utama, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Selain itu, taat pada nilai-nilai budaya dan adat.
“Karena setelah kita lakukan deklarasi Ambon bersama 7 provinsi kepulauan lainnya tahun 2005 untuk memperjuangkan supaya diberlakukan khusus, tapi kemudian ditolak. Nah tentu kita cukup resah. Sebagai rakyat kita harus menuntut, supaya diperlakukan sama. Kenapa ada wilayah-wilayah lain bisa dapat otonomi khusus dan istimewa, kenapa kita tidak bisa?. Kalaupun tidak bisa, yah kita minta perlakuan khusus,”paparnya.
Pentingnya perlakuan khusus, lanjutnya, dapat dilihat dari perspektif sejarah. Provinsi Maluku (termasuk Maluku Utara) bersama dengan tujuh provinsi lainnya merupakan delapan provinsi yang diumumkan dalam Berita Negara tanggal 19 Agustus 1945 sebagai daerah-daerah yang ada di Indonesia. Namun, karena realitas alamiah Provinsi Maluku yang tidak menjadi perhatian dalam kebijakan Pemerintah, menjadi provinsi yang masyarakatnya miskin ketiga di Indonesia sampai saat ini.
Sementara dari prespektif politik, masih dari materi wagub, Maluku menjadi titik penentu perkembangan Indonesia, dilihat dari sudut pandang geopolitik. Hal ini penting, karena Provinsi Maluku berada pada kawasan perbatasan Negara yang berinteraksi dengan negara-negara di Pasifik, yang dipelopori Amerika Serikat dan Australia.
Aspek berikutnya adalah, karakteristik wilayah Maluku yang merupakan kepulauan terdiri dari pulau-pulau kecil dengan lautan (92,4 persen) dari luas daratan 7,6 persen menjadi dasar pelaksanaan pembangunan. Selian itu, selama ini paradigma penyelenggaraan pemerintahan, Maluku masih disamakan dengan daerah bagian barat Indoensi yang berimplikasi pada ketidak adilan pengelolaan anggaran.
Olehnya itu, Sahuburua berharap seminar yang digagas Fisip Unpatti ini dapat melahirkan rekomendasi yang rasional dan objektif serta kritis untuk diusulkan ke pemerintah pusat, dalam rangka mendapatkan perlakuan khusus, sebagai daerah kepulauan.
“Oleh sebab itu kita harapkan, seminar ini akan melahirkan satu rekomendasi yang akan disampaikan ke pemerintah pusat. Dan kami yakin itu. sebab mereka yang ada di dalam ini, semuanya adalah para ilmuan dibidangnya. Tetapi perjuangan kita santun dan sopan. Bukan dengan anarkisme,”imbuhnya.
Dekan Fisip, Jusuf Madubun menilai, amandemen UU pemerintah daerah belum sepenuhnya mengakomodir keinginan masyarakat Maluku. Masih terjadi parsialisasi kebijakan mendiskredtikankan Maluku dan provinsi kepulauan lainnya dalam mengelolah daerah sendiri.
“Selama ini kan usulan dari kita tidak terima oleh DPR RI. Walaupun ada beberapa kepentingan yang sudah diakomodir dalam UU Pemerintahan Daerah nomor 32 tahun 2004. Tapi bagi Maluku, itu saja belum cukup. Sehingga forum dekan ini kami mengajak teman-teman dosen ilmu politik dan pemerintahan untuk memberikan gagasan tentang Indonesia secara utuh. Khususnya 8 daerah provinsi kepulauan itu,”tegas Madubun.
Dia yakin, gagasan-gagasan yang akan dituangkan dalam rekomendasi bisa menambah daya dobrak terhadap pemerintah pusat untuk bisa mengakomodir kepentingan provinsi kepulauan. Untuk meraih setiap keinginan yang sudah disampaikan ke pemerintah, Maluku perlu melakukannya cara yang elegan melalui forum diskusi ilmiah.
“Sehingga kita harapkan proses bisa berjalan Terstruktur, sistematis dan massif. Terstruktur artinya kita pikirkan secara baik dan matang setiap ide gagasan. Kemudian perjuangkan kita harus sistematis dan harus ada gerakan dari seluruh masyarakat.
Sedangkan, Tony Pariella, sebagai moderator berkesimpulan Desentralisasi Asimetris sangat penting sebagai upaya mengakomodasi keberagaman (uniform). Dengan demikian, seluruh keunggulan spasial dan potensi lokal bisa tertampung dan tersalurkan dalam kerangka menciptakan kehidupan masyarakat yang berkeadilan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H