Mohon tunggu...
Muhammad Ali Reza
Muhammad Ali Reza Mohon Tunggu... Guru - belajar sepanjang hayat

Setiap penulis akan mati. Hanya karyanyalah yang abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan dirimu di akhirat nanti. (Imam Ali Kw.)

Selanjutnya

Tutup

Diary

Senja di Situ Ciburuy

15 Agustus 2021   23:09 Diperbarui: 16 Agustus 2021   12:27 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Ketika berbicara senja, pikirku langsung menerawang kepada puisi Chairil Anwar---pelopor penyair angkatan 45---yang berjudul "Senja di Pelabuhan Kecil." Tapi ini bukan mengenai kisah cinta laiknya Chairil kepada Sri Arjati. Melainkan mengenai kondisi Danau Ciburuy (selanjutnya ditulis Situ) saat ini. Sebuah letak geografis cekungan yang berisi air tawar dan ekosistem di dalamnya baik yang mikro maupun makro. Situ Ciburuy sedang dalam tahap renovasi. Tanahnya dikeruk lagi menggunakan beko, diperdalam, terutama bagian sisi tertentu. 

Ketika sore tadi aku melintasi jalan di bibir situ Ciburuy, aku melihat air di situ Ciburuy surut. Aku berhenti sejenak menepikan motor. Lalu turun ke bawah melalui tangga, melihat dari jarak dekat: situ Ciburuy. Kapasitas air di situ Ciburuy memang tidak seperti dahulu, kini menyurut. Ditepian banyak cangkang-cangkang keong juga kondisi air yang 'kotor', kondisi tanah yang menyentuh ke situ Ciburuy pun berwarna gelap, mirip dedak pada kopi hitam. Saking surutnya, tinggi air yang dekat pulau (daratan kecil di tengah situ) setinggi dada orang dewasa. Tepi situ yang tidak tergenang air, sebagian dimanfaatkan warga untuk bercocok tanam: menanam sayuran.

Cuaca sore tadi terik. Aku dan Rara turun ke bawah hanya sebentar, menemani Rara yang sedang berlari-lari kecil di tepian situ Ciburuy mengejar anak ayam. Aku pun mengikutinya dari belakang khawatir Rara jatuh karena permukaan tanah tak cukup rata ditambah rerumputan tinggi yang membuat langkah Rara sesekali terhenti.

Setelah bermain sebentar, kami menepi ke atas kembali. Duduk di bawah pohon rindang beristirahat sejenak sembari sembunyi dibalik teriknya mentari dan menikmati semilir angin sepoy-sepoy. Minum, duduk di bangku, sembari menunggu pesanan seblak datang.

O..ya, setiap sore, di jalanan yang menyisir situ, ada odong-odong (mobil yang dimodif sedemikian rupa yang dapat memuat orang banyak di dalamnya). Odong-odong, mungkin menjadi hiburan bagi warga sekitar. Laiknya Bandros di kota Bandung, hanya saja tak ada pemandu di dalamnya. Katanya, rutenya mengelilingi jalanan di samping situ. Tapi ada juga yang rutenya sampai ke Sudimampir atau Baloper. Start dan finish sesuai tempat kita. Misal kita start di dekat tukang seblak tadi, maka finishnya pun di dekat tukang seblak lagi. Merogoh kocek lima ribu rupiah untuk sekali jalan. Ibu-ibu, terutama yang membawa balita menjadi penumpang mayoritas, tapi ada juga muda-mudi yang naik odong-odong tersebut. Menikmati suasana senja hari. Sebelum hari gelap.

Padalarang, 15 Agustus 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun