Hanya kisah sepasang sandal yang baru saja menemukan majikan barunya, kepemilikan bagi sepasang sandal adalah semacam kesiapan untuk kehilangan satu sama lain. bagian kanan terhadap bagian kiri, begitu juga sebaliknya.
Si bagian kanan berbisik,
“Dear, kamu siap?” si bagian kiri mengusap air matanya,
“Entah”
“Kita akan melihat indahnya dunia luar, tidak lagi dari cerita-cerita dongeng yang selama ini kita dengar. Ini akan menjadi hal yang berbeda, kita akan berpetualang” si bagian kiri tetap saja sedih, sesugukan sambil mengusap ingus karena air matanya yang tidak berhenti mengalir, matanya sembab, dan hidungnya meler.
“Kamu sama sekali tidak sedih dengan semua ini?” Si bagian kanan malah tersenyum,
“Sungguh? Meski ini adalah pertanda bahwa sebentar lagi kita akan berpisah? Kamu tidak sedih?”
“Dear, berhentilah mempercayai mitos tentang sepasang sandal. Ekspresiku begini karena aku percaya kita akan tetap bersama, tidak semudah itu dipisahkan karena sebuah kepemilikan. Sungguh, ini kesempatan kita melihat dunia luar, tidak sebatas lewat celah rak sandal di toko bang Sandy. Terlebih aku akan merasakan hal itu denganmu, bagaimana aku tidak senang? Hayolah, hapus air matamu dear, sungguh, kamu jelek betul jika sedang menangis” muka si bagian kiri langsung merengut, enak aja dia dibilang jelek, begitu maksudnya yang langsung disambut tawa oleh si bagian kanan.
“Nah begitu dong. Mari kita bersiap-siap”
Percakapan singkat tersebut terjadi sebelum calon majikan mereka menyelesaikan transaksinya, sekarang sepasang sandal itu tengah berada di sepetak kardus yang pengap. Dan semakin terasa pengap ketika Bang Sandy memasukkan kardus dengan sepasang sandal ke kantong plastik dengan merk ‘SINAR JAYA’ di depannya, nama toko sepatu milik bang Sandy.
**
“Kak Anggiiiii” Ibu Rina meneriaki Anggi, puteri sulungnya dari balik dapur.
“iya Ma?” Anggi segera menghampiri mamanya yang sedang membuat kue,
“Tolong jaga adikmu ya sayang, Mama mau bikin kue dulu”
Tanpa diperintah dua kali, si Anggi langsung menyetujui. Pasalnya Mama bikin kue kesukaan Anggi, Bolu dengan suguhan keju yang lumer di atasnya.
“Siap Ma” Anggi lalu berjalan keluar dari dapur, menjauhi Ibu Rina yang tengah memasukkan kue ke dalam oven.
“Eh? Emang Nada di mana?”
“Haduuuh” Anggi menepuk jidatnya sendiri, buru-buru kembali lagi ke dapur.
“Ma, emang Nada di mana?”
“Di halaman tengah Kak, tadi dia bemain-main dengan sandal sepertinya” Anggi langsung berlarian ke halaman tengah. Sejak pembangunan awal rumah ini, Ibu Rina dan suaminya memang terlibat langsung dengan rancangan arsiteknya, sengaja meletakkan halaman di tengah rumah mereka.
“Biar nanti anak-anak tidak perlu jauh-jauh ke luar rumah untuk bermain, tidak aman” Begitu asumsi ibu Rina.
Sedangkan di halaman, Nada asyik dengan permainan yang dibuatnya sendiri dari tadi. Membolak-balik pasangan sandal dan sepatu, memasang-masangkan, lalu menukarnya dengan yang lain, begitu seterusnya. Sepasang sandal otomatis terbawa alur permainan Nada, begitu lelah dari tadi dipindah ke sana ke mari.
“Haduh, Nada, sandalnya jangan digituin. Nanti bisa hilang kocar-kacir” Anggi gemas melihat tingkah adik semata wayangnya yang masih berusia 2 tahun. Nada hanya nyengir,
“Nda apa apa mbak Ji” Nada masih kesulitan memanggil sempurna nama Anggi, masih sering terpeleset menjadi ‘Anji’.
Akibat perlakuan Nada, si bagian kiri mulai mengeluh kelelahan.
“Dear, ini yang kau sebut dengan pengalaman? Kita bahkan belum pernah melihat dunia luar sejak pertama kali keluar dari toko bang Sandy” ini merupakan hari ke dua mereka berada di halaman rumah ibu Rina, menjadi sandal milik Anggi.
“Bahkan aku curiga jika hari ini adalah kebersamaan kita yang terakhir”
“Maksudmu dear?”
“Tidak ada yang menjamin bukan jika anak bocah ini tidak membawa sepasang dari kita ke mana-mana, lalu tidak sengaja tertinggal di suatu tempat, jika demikian bukan tidak mungkin kita akan berpisah” si bagian kanan menghelas nafas,
“Kamu selalu berburuk sangka, sedikit sedikit mengungkit tentang perpisahan, sedikit-sedikit takut sendiri. Dear, itu hanya perasaanmu. Bocah ini tidak akan melakukan seperti apa yang kamu katakan barusan. Percayalah” wanita memang selalu begini, terperangkap oleh pikiran curiga yang diciptakannya sendiri, si bagian kanan berbisik dalam hati.
“Tapi bagaimana jika hari ini adalah hari kita terakhir bertemu?” Si bagian kiri tetap khawatir, feelingnya sebenarnya sudah tidak nyaman semenjak tangan Anggi meraih punggungnya, jatuh hati pada sosoknya.
Sementara itu, Nada masih asyik dengan permainananya, sedang Anggi mengawasinya sambil bermain bola bekel dengan konsentrasi yang tinggi, terlihat serius sekali. Sampai beberapa menit kemudian, Ibu Rina meneriaki mereka dari dapur.
“Kak Anggiiiiiiiiiiiii, Dek Nadaaaaaa, kuenya sudah matang”
Jika urusan makanan, jangan ditanya, Anggi dan Nada langsung bergegas ke arah suara Mama mereka, tidak sabaran untuk mencicipi. Apalagi Anggi, perutnya sudah mulai keroncongan rupanya.
Si bagian kiri refleks terjatuh setelah Nada melemparnya keras, sedang si bagian kanan hanya melihat peristiwa tersebut dengan senyuman lebar.
“Aaaauuuochhh, bocah ini tega sekali melemparku barusan. Sakit sekali” si bagian kiri merasakan pungguhnya encok seketika, lalu menoleh ke arah si bagian kanan yang ternyata malah tertawa terbahak-bahak melihat penderitaannya.
“Ada yang lucu?” si bagian kiri mendelik,
“Hahaha, ampun dear, kamu jangan salah sangka dulu, aku tertawa bukan karena melihatmu dilempar begitu saja dengan bocah itu. Aku tertawa karena aku senang kita masih bersama. Dan benar bukan? Pikiran negatifmu sama sekali tidak beralasan. Kita masih tetap bersama bukan?” sambil menampilkan muka petak, si bagian kiri mengangguk sebal.
“hahaha..senyum Dear”
**
Sayangnya keyakinan si bagian kanan tidak selamanya benar, dan ketakutan si bagian kiri juga tidak sepenuhnya salah. Perpisahan pasti akan menjadi fase yang harus mereka lewati, dengan atau tanpa mitos yang ada, perpisahan untuk sebuah pertemuan yang lebih indah, eh? kata siapa? Kata orang-orang yang mempercayainya tentang pertemuan setelah dibentangkan jarak oleh perpisahan.
Sore itu, Anggi keluar bersama teman-teman sebayanya. Setelah mendapat izin dari Mamanya, dirinya langsung bergegas, tidak lupa mengenakan sepasang sandal kesayangan Anggi.
Tujuan Anggi dan teman-temannya tidak lain adalah Water Boom, setelah pelajaran sekolah terasa sekali meninggalkan penat di otak mereka, lantas mereka memutuskan untuk berenang sebentar, sambil menikmati segala macam jenis wahana di sana.
Di sinilah, tragedi itu terjadi, hal yang diremehkan oleh si bagian kanan, dan hal yang ditakutkan oleh si bagian kiri. Sayang, dari keduanya, sama sekali tidak ada yang menyadarinya. Terlalu terlena dengan dunia di luar rak sandal toko bang Sandy.
Dengan pijakan lembut kaki Anggi, mereka dengan sumringah menikmati sejuknya terpaan angin, hangatnya sinar mentari, dan tentu indahnya para gedung pencakar langit buatan manusia.
Sekali lagi, sayang sekali, satupun tidak ada yang menyadarinya.
**
Sesampainya di water boom, sepasang sandal itu semakin terpesona, banyak air biru di mana, wajah-wajah para manusia yang sumringah bahagia, percikan air yang berhamburan. Mereka larut dengan suasana yang ada, sambil tertawa geli karena tubuh mereka juga tersiram air.
“Kyaaaa, akhirnya sampai” Anggi terlihat sekali begitu sumringah, sudah lama tidak berkunjung ke tempat ini. Dan tanpa menunggu waktu, Anggi dan kedua temannya langsung berlarian menuju kolam,
Sementara itu, di manakah sepasang sandal? Tentu mereka mengintip dari pojokan, turut senang menikmati pemandangan sekitar, bertemu dengan teman baru, sepasang sandal lain milik kedua teman Anggi, Laras dan Dila.
Tiga sepasang sandal yang sama-sama bahagia,
Tiga puluh menit berlalu, sepasang sandal milik Anggi saling menatap satu sama lain. si bagian kanan yang terlebih dulu bersuara,
“Dear, mau kau berjanji padaku satu hal?” Si bagian kiri menoleh pelan,
“Apa?”
“Melihat dunia luar seperti ini adalah saat-saat yang menyenangkan buatku dear, apalagi dengan keberadaanmu di sisiku” si bagian kiri berkerut heran,
“Aku tentu sama sekali tidak mengharapkan kejadian buruk menimpa kita dalam bentuk apapun, hanya bila ternyata benar-benar ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Maka, berjanjilah bahwa meski tanpa aku, bahwa jika nantinya kita akan berpisah, kamu akan selalu merasa baik, tidak menyalahkan keadaan sekitar, apalagi diri sendiri”
“A-p-ppa yang ada di dalam pikiranmu dear? Kenapa berpikiran demikian? Bukankah selama ini kamu yang berkali-kali bilang bahwa kita akan selalu bersama, bahwa menjadi pilihan manusia adalah hal yang menyenangkan sekaligus menakjubkan? Bukankah semua itu kamu yang bilang? Perlahan turut menghilangkan kekhawatiranku, bukankah demikian dear? Lalu ada apa sekarang dengan pikiranmu?” jelas si bagian kiri tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh si bagian kanan barusan, masa bodoh dengan janji-janji, bukankah sebisa mungkin kita harus selalu bersama-sama?
“Dear, aku ingin menceritakan sesuatu padamu.Sesuatu yang mungkin luput dari pengetahuanmu. Cerita ini berawal dari sebelum kamu selesai dibuat. Aku mendengar cerita singkat dari si Bapak pembuat sandal. Begini…”
Entah hari itu, mungkin karena bapak pembuat sandal yang terlalu lelah untuk membuat sandal, atau karena memang membutuhkan teman untuk curhat. Maka sambil membuat pola untuk kamu dear, bapak itu menceritakan kesedihannya padaku, seolah-olah kita bisa berkomunikasi satu sama lain.
“Mungkin kamu adalah sepasang sandal yang keseribu lima ratus yang pernah Bapak buat dengan tanganku sendiri” aku agak kaget mendengar penuturannya kala itu, wow bayangkan? Sudah berapa lama bapak ini memproduksi sepasang sandal tidak bulannya? Menakjubkan.
“Bagaimana perasaanku? Jelas aku senang, bisa melindungi banyak kaki manusia dari mara bahaya, mengingat tujuan mulia tersebut maka aku akan semakin semangat membuat sandal dengan kualitas terbaik, bersungguh-sungguh supaya siapa saja yang memakai sandal buatanku nanti akan merasakan nyaman dan terlindungi” bagaimana perasaanku dear setelah mendengarnya? Tentu semakin buncah dan haru akan dedikasi tinggi si Bapak pembuat sandal tersebut.
Lalu tiba-tiba aku melihat raut muka si Bapak tersebut berubah menjadi diliputi kesedihan,
“Sayangnya aku bukanlah pengusaha yang bisa dengan bebasnya menjadi pemilik tunggal atas seluruh sandal yang aku buat, aku hanya seorang pekerja di bawah kendali orang lain” Sampai penjelasan ini, aku masih belum mengerti tentang penyebab yang membuat Bapak itu sedih.
“Dan kamu tahu, karena itu. Aku juga tidak bisa melarang mereka untuk tidak melenyapkan banyak sepasang sandal yang sudah aku buat dengan sepenuh hati. Hidup ini ibarat perlombaan raksasa yang tidak pernah kunjung usai, sekalinya banyak sandal yang diproduksi lalu diluncurkan di pasaran, dan ternyata tersisa karena faktor fashion yang semakin melejit pesat, maka akan banyak sandal yang mendadak sengaja dijual dengan harga murah, yang penting laku keras.”
“Nah sayangnya, perusahaan ini tidak memiliki kebijakan terhadap sandal-sandal yang belum laku juga dari awal diluncurkan, maka dengan tega mereka akan membakarnya dengan sadis, tanpa mempedulikan bagaimana aku contohnya yang bekerja di bidang produksi, membuat sandal-sandal itu dengan sungguh-sungguh.”
“Setidaknya, jika memang tidak laku, kenapa harus dibakar? Tidak dibagikan saja dengan suka rela terhadap orang-orang yang memang membutuhkan sandal, sehingga apa yang aku lakukan tidak menjadi sia-sia” Bapak tersebut mengusap air matanya pelan, sungguh dear, akupun juga menangis sesugukan, sedih sekali mendengar cerita perjuangan si Bapak.
“Tapi sekali lagi aku bisa apa, bagi seorang pembuat sandal, maka tidak ada hal yang paling membahagiakan selain sandal yang dia buat akhirnya dikenakan oleh orang lain. jika hanya untuk dibakar dan dihancurkan, lalu untuk apa aku susah-susah membuatnya?”
“Karena tujuan kalian diciptakan memang untuk melindungi kaki manusia, untuk menjadi pijakan bagi langkah manusia” aku terpana ketika mendengar tentang bagian ini, terdengar sangat indah di telingaku, bahwa aku diciptakan dengan misi perlindungan untuk manusia. Terdengar keren sekali bukan?
Lalu seperti yang aku katakan, sepertinya si Bapak tahu betul bahwa akan menyimak dengan baik seluruh cerita heroiknya. Kemudian memandangku lembut, sambil berharap.
“Semoga kamu termasuk golongan sandal yang melakukan tujuanmu dengan baik ya” Sayangnya si Bapak tidak bisa melihatku yang tengah mengangguk dengan kencangnya.
“Aku akan membuatkan pasangan yang cantik untukmu, akan cocok sekali mendampingimu di sebelah kiri” Bisik Bapak itu, membuat wajahku sumringah seketika, disitulah awal keberadaanmu dear.
“Eh dear? Bagaimana manurutmu?” Ditanya seperti itu, si bagian kiri tetap saja diam, masih sibuk dengan analisanya sendiri.
“Tapi tetap saja dear, diriku masih sangat sulit menerima kenyataan jika harus berpisah denganmu”
“Dear, ini bukan hanya tentang aku dan kamu, tapi tentang kemanfaatan kita buat orang lain, peranan kita sebagai sepasang sandal. Bahkan sekarang misi kita sudah tuntas, hanya tinggal bagaimana bertahan. Yakinlah ini adalah takdir yang adil, dan tentu saja mulia” si bagian kiri tidak lantas bisa menerima dengan mudahnya, namun dia belajar untuk mencernanya dalam hati, sungguh dia akan belajar demi si bagian kanan yang sangat dia cintai.
Maka hanya tinggal menunggu waktu, ketika terdapat seorang anak kecil yang berlarian ke arah mereka dengan kencang, lalu dengan tidak sengaja si anak kecil terpeleset, sandal si bagian kanan terlempar entah ke mana.
Baru saja si bagian kiri hendak mengatakan bahwa dia faham dengan maksud si bagian kanan. Namun betapa kagetnya setelah melihat peristiwa naas barusan, dan otomatis menjerit seketika
“Deaaaaaaaaaaaarrrrrrr..deaaaaaaaarrrrrr…deaaaaarrrrr..” Si bagian kiri tidak berhenti menjerit seperti tengah kesetanan, bingung harus bagaimana, jelas dia hanya bagian kiri sandal yang tidak bisa berbuat banyak, bergerak saja tidak bisa tanpa arahan dari manusia. Maka tangisnya semakin kencang, bercampur dengan tangis tubuh anak jatuh yang tadi, untung kepalanya tidak pecah, namun aksinya telah berhasil mencabik-cabik hati si bagian kiri sandal, merasakan kehilangan si bagian kanan.
Di pojokan tempat si bagian kanan terjatuh keras, dia bersyukur bahwa dialah yang terlempar, meskipun rasa sedihnya juga bukan kepalang.
“Aku berharap kamu mengerti apa yang aku katakan barusan, aku harap semoga kamu senantiasa baik-baik saja. Dan aku akan merindukanmu dear”
Lalu bagaimana dengan si bagian kiri? Anggi memungutinya sambil marah-marah, padahal itu adalah sandal kesayangannya, maka Anggi tetap membawa sebelah sandal ke rumahnya, meletakkannya di rak sepatu. Tempat yang paling aman untuk si bagian kiri, sekaligus tempatnya mengenang banyak kejadian bersama si bagian kanan.
“Tugas kita kepada manusia telah tunai, dan aku janji akan selalu merasa baik, semoga kamu juga demikian, entah di mana” bisik si bagian kanan sambil mengusap air matanya pelan.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H