"Tidak semua orang mendapatkan pilihan pertama dalam hidup ini. Tapi kita bisa hidup sama bahagianya dengan mereka, meski hanya mendapatkan pilihan kedua, ketiga, atau bahkan keseratus-satu."
Tere Liye.
**
Hari ini aku ikut kegiatan untuk amal, kegiatannya sangat sederhana, yaitu menjual apa yang bisa dijual, dan salah satu barang yang bisa dijual tanpa mengeluarkan biaya berlebih ialah barang bekas seperti pakaian, yang menurutku kualitasnya tidak kalah bagus dengan barang yang baru.
yang paling penting dari barang bekas adalah manfaatnya bukan? sehingga walaupun sudah pernah digunakan orang lain seharusnya tidak menjadi masalah. Sayangnya, masih banyak yang beranggapan negatif tentang barang bekas, dengan asumsi kualitas barang yang turun drastis dibanding dengan barang yang asli.
Mengenai urusan harga, bisa dilihat perbedaan yang signifikan. Harga sebelum dan sesudah barang terpakai, walaupun hanya satu kali pemakain. Perbedaan yang dijumpai bisa mencapai ratusan ribu, tentu saja dengan kualitas barang yang tidak jauh berbeda, namanya juga baru terpakai satu kali.
Di sinilah, bagaimana sifat gengsi manusia itu berperan, sulit dikendalikan, selalu berambisi menjadi yang pertama, sebagai pemakai yang pertama. Kemudian merasa gengsinya akan jatuh terjerembab ketika harus memakai barang bekas orang lain. sifat dasar manusia pada umumnya.
Padahal, secara prinsip ekonomi. Membeli barang berkas yang masih layak pakai bisa menghemat pengeluaran yang ada, asumsikan dengan uang terbatas bisa membeli beberapa potong pakaian. sedangkan jika dialokasikan untuk membeli barang baru, kadang satu potong pakaian belum tentu dapat, dengan fungsi dan kegunaannya yang sama.
Sebagian orang ada yang tetap antusias membeli meskipun itu sudah menjadi pakaian bekas, sama sekali tidak menjadi masalah, lagipula bajunya juga sama-sama bersih, tidak meninggalkan penyakit penular dari pemilik pakaian sebelumnya.
Tapi sebagian yang lain, ada yang langsung mengenyit kecewa, dengan nada bicara yangmungkin tidak bermaksud meremehkan tapi justru terdengar sangat meremehkan.
“Oh, ini barang second ya semuanya.”
“Iya Pak, eh tapi masih bagus-bagus Pak, bajunya.”
“Umm iya.” Tapi sayangnya pandangan Bapak tersebut tidak bisa berbohong, tatapannya jelas sekali berarti ‘tidak level’ untuk membeli barang-barang di sini, lalu sambil berlalu.
“Hasil penjualan insyaAllah akan disumbangkan untuk amal Pak.”
“Oh, begitu. Baguslah.” Masih dengan nada yang menurutku sedikit belagu.
“Baiklah! Mungkin bapak itu memang demikian, terlanjur hidup dengan harta yang melimpah dan semua hal serba berkecukupan. aku sudah malas melayani bapak itu, pemilik muka yang terkesan meremehkan karena yang bisa kami jual hanyalah 'barang bekas'"
**
Buat aku pribadi, masa bodoh dengan pakaian yang aku kenakan, barang baru atau barang bekas. Bahkan aku sangat bahagia apabila mendapatkan pakaian bekas teman-temanku, orang-orang yang aku kenal. dikarenakan tubuhku yang mungil, selama ini aku mendapat kesempatan yang besar untuk menjadi penerima setia pakaian bekas dari teman-teman, lagipula bajunya juga masih bagus dan layak pakai, lalu aku juga nyaman saat mengenakannya, lantas kenapa harus gengsi? Sambil memakai pakainnya, sengaja betul aku melapor kepara mereka yang memberi,
“Eh, aku pakai baju kalian.” lalu biasanya mereka juga akan menjawab,
“Ana, kamu terlihat sangat cantik pakai baju itu.” Atau,
“Ana, baju itu cocok sekali buat kamu.” lalu, kami berdua sama-sama tersenyum menanggapi. Ah keindahan dalan ukhuwah terkadang sangat sederhana bukan, hanya dari barang-barang kita yang ternyata lebih bermanfaat jika digunakan oleh orang lain.
Bahkan di pesantren dulu, aku suka membagikan beberapa pakaian yang sudah aku pakai kepada anak kamar, dan mareka juga terlihat bahagia menerimanya, aku memberikan pada mereka sebagai kenang-kenangan, sehingga mereka bisa mengenangku lewat pemberianku itu, walaupun pakaiannya tidak baru, bisa jadi justru akan semakin berarti, karena itu berupa sesuatu yang telah aku pakai.
Bahkan, beberapa dari temanku di Madura, yang sedikit mengangungkan posisiku sebagai salah satu keturunan pesantren, ingin sekali menerima pakaian bekas dariku. Mereka bilang mereka mengharapkan ‘berkah’ dari keluargaku, terdengar aneh bukan? salah satunya adalah temanku sendiri, yang bahkan lebih mengharapkan bisa memperoleh pakaian bekas dariku dari pada pakaian yang ingin aku belikan khusus untuknya.
**
Teori barang bekas di atas mengingatkanku tentang pilihan dan bahagia. Sayangnya kebahagian tidak bisa diukur dari pilihan pertama atau bukan.
Aku pribadi, merasa lebih baik menjadi pilihan yang terakhir, entah sekaligus menjadi pilihan pertama atau bukan. Walaupun kemungkinan aku gagal menjadi pilihan yang terakhir, mungkin itu bukan merupakan permasalah yang krusial, ini hanya masalah piihan, sedang kebahagiaan sejatinya berasal dari sesuatu di dalam diri sendiri, dari hati.
Sekali lagi, bahagia itu tidak tergantung dengan ‘harus’ menjadi pilihan yang keberapa, tapi ini tentang sebuah penerimaan.
Terdapat perihal lain yang tidak kalah menarik. Tentang pacaran dan bagaimana hukumnya di mata islam, beberapa ada yang mengatasnamakan suatu proses ta’arruf, atau mengistilahkan hubungan pacaran mereka dengan saling mengenal keluarga.
Tetapi ada juga yang beranggapan bahwa acara pengenalan tersebut termasuk ‘jamah-menjamah’ yang diikhlaskan cuma-cuma.
Sisanya ada yang terlihat enggan menerima kenyataan bahwa dia bukanlah orang yang pertama dalam hidup pacarnya, dalam artian pasangannnya adalah bekas pasangan orang lain. Karena itu, ada yang memutuskan untuk menjaga dirinya sendiri sebaik mungkin, bertahan supaya tidak berpacaran, dan berharap bahwa jodohnya-pun menjaga dirinya sendiri untuk sama-sama tidak berpacaran.
Namun saat ini lebih banyak yang tidak peduli, dengan anggapan, dia sendiri juga sering gonta-ganti pacar. hal yang membuatku jengah ketika terdapat sepasang kekasih yang sama-sama bersikap ramah alias rajin menjamah. Astaga, iya jika mereka berjodoh, jika tidak?. Akhirnya masing-masing akan menjadi ‘bekas’ bagi jodoh yang sebenarnya.
Mengenal hati tidak harus melewati proses pacaran dan suka pegang-pegangan itu bukan? Tidak harus saling mengenal dengan rajin menjamah, bahkan nanti bisa bablas, lantas terjerumus ke dalam hubungan yang tidak sehat, dan begitu menyalahi aturan agama.
Astaghfirullah.
Sejatinya cinta itu perbuatan, dengan sikap yang baik, dengan niat yang baik pula. Bukan dengan semakin cinta maka akan semakin pegang sana-sini sebelum akad nikah.
Bahkan seharusnya, jika memang ada sepasang manusia yang saling mencintai, mereka berdua akan otomatis saling menjaga satu sama lain, akan saling menghormati, dan tentu saja akan saling menghebatkan, tidak akan menjerumuskan orang yang dicintai ke dalam api neraka karena nafsunya sesaat.
Sejatinya cinta itu selalu membaikkan, saling mengingatkan kepada kebaikan, saling melindungi, termasuk menghindari istilah 'bekas' dari pribadi yang dicintai.
Dan bagaimanapun, cinta sejati selalu hadir dengan tepat setelah ijab-kabul yang syah, bukan dari debaran hati yang masih belum pasti dan masih labil.
Intinya, aku sangat menyayangkan sekali sikap orang-orang yang justru menjadikan dirinya sendiri terlihat sebagai ‘bekas’ untuk orang lain. Baiklah, aku sangat menghargai keberadaan pakaian bekas, tidak mempermasalahkan sama sekali, eh tapi ini, bekas dalam artian yang berbeda, janganlah! Seharusnya para wanita itu bisa menjaga dirinya sendiri untuk menaikkan kualitas kehidupannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H