Sebagai penggemar film India, saya suka dengan orang India dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Negeri Bollywood. Mulai dari lagu, tarian, musik, hingga artis-artisnya seperti Kareena Kapoor, Katrina Kaif, Fatima Sana Shaikh, Salman Khan, Aamir Khan, dan Shahrukh Khan. Sayangnya, saya belum pernah menginjakkan kaki di tanah Mumbai, kota terbesar di India.
Negeri berpenduduk sekitar 1,27 miliar jiwa itu kian berkembang. Ekonominya tumbuh cepat, bahkan tahun 2015 pertumbuhannya mencapai 7,5%, angka pertumbuhan itu jauh di atas pertumbuhan ekonomi China 6,9% dan Indonesia 4,79%. Bahkan laporan terbaru Morgan Stanley bertajuk “India versus Indonesia: 10 Key Charts” menunjukkan betapa India menjadi negara dengan prospek investasi menarik karena ekspornya terjaga dengan tumbuh stabil, konsumsi domestik yang baik, dan belanja pemerintah yang kuat.
India tak hanya kokoh dari sisi ekonomi. Jika ditelusuri lebih jauh dalam hal sumber daya manusia, SDM India juga terkenal andal dalam berbagai bidang, terutama teknologi informasi. Orang-orang kunci di perusahaan teknologi global, tak luput dari nama orang-orang India atau keturunan India kendati bukan warga negara India. Ada Sundar Pichai, CEO Google, dan Rajeev Suri yang dipercaya menjadi CEO Nokia. Lalu ada Shantanu Narayen, CEO Adobe, Satya Nadella, CEO Microsoft, dan Padmasree Warrior, perempuan yang kini menjabat Chief Technology Cisco.
Soal SDM ini, invasi orang-orang India menyebar ke seluruh dunia dan di segala bidang. Indonesia termasuk menjadi salah satu negara incaran SDM India. Bukan di bidang techno, melainkan pertambangan mengingat India adalah negara pengimpor batu bara terbesar di dunia bersama China.
Dan, salah satu entitas bisnis yang menurut saya banyak diperkuat SDM dari India adalah perusahaan-perusahaan di Grup Bakrie. Beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Bakrie, seperti PT Bakrie & Brothers Tbk (holding Grup Bakrie), PT Bumi Resources Tbk, dan sejumlah perusahaan afiliasi lainnya, sempat dan masih terselip orang India atau keturunan India.
Di Bakrie & Brothers, pernah ada nama Kahlil Rowter. Di perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham BNBR itu, Kahlil yang keturunan India, ditunjuk menjadi chief economist sejak 2011 setelah sebelumnya menjabat direktur utama PT Pemeringkat Efek Indonesia. Dari BNBR, Kahlil kemudian memperkuat riset ekonomi di Bakrie Global pimpinan Anindya Bakrie. Keberadaan Kahlil di Bakrie Global cukup berpengaruh bagi perusahaan investasi itu karena Bakrie Global aktif dalam berbagai proyek revitalisasi dan restrukturisasi atas perusahaan-perusahaan yang sebelumnya menderita akibat krisis moneter 1997-1998. Setelah keluar dari Bakrie Global, Kahlil kini menjadi chief economist Danareksa Research Institute dan dosen Fakutas Ekonomi Universitas Indonesia.
Di Bumi Resources, perusahaan tambang yang terafiliasi dengan Grup Bakrie, ada nama Dileep Srivastava. Nama ini begitu familiar bagi wartawan pasar modal yang pernah meliput di Bursa. Dileep adalah salah satu orang paling lama yang mengabdi di perusahaan Grup Bakrie, sejak 1997 atau hampir 20 tahun. Setidaknya, alumnus Indian Institute of Management itu sudah memegang beberapa jabatan penting di Grup Bakrie.
Pria 64 tahun ini bergabung dengan Bumi Resources sejak 2006 memegang bidang investor relation, corporate secretary, public relation, media, pemerintahan, dan komunikasi. Tak ayal, setiap ada aksi korporasi atau konfirmasi soal Bumi, Dileep turun tangan. Pria kelahiran Kanpur, India, ini pernah menjadi direktur Bakrie & Brothers sejak Maret 2008 hingga Juni 2010 dan kini Dileep menjabat direktur dan sekretaris perusahaan Bumi Resources (BUMI).
Dileep sangat rajin mengirimi infomasi terkait Bumi kepada awak media. “Hopefully BUMI can surpass this in 2017, to aGreat New Year!” kata Dileep lewat Watsapp akhir Desember tahun lalu. Di perusahaan tempat Dileep bekerja ini, ada anak usaha dan perusahaan asosiasi di bidang tambang yakni PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS), PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal (KPC).
BRMS fokus pada pertambangan mineral non-batu bara, sedangkan Arutmin dan KPC adalah dua ekportir batu bara thermal di Indonesia dan merupakan perusahaan patungan antara Bumi dan Tata Power Ltd, India. Tahun 2014, mengacu data ESDM, produksi batu bara KPC menembus 52,33 juta ton, terbesar kedua setelah Adaro Indonesia (55,32 juta ton). Per September 2016, pemegang saham mayoritas Bumi adalah investor publik 64%, sisanya Credit Suisse Singapore 30,11% dan Damar Reka Energi 6,28%. Aset Bumi menembus US$3,35 miliar (setara dengan Rp44 triliun) tapi ekuitasnya negatif alias defisiensi modal US$2,86 miliar (Rp37 triliun).
Dileep tidak sendiri di Bumi, orang India lain di Bumi yakni Nalinkant Amratlal Rathod yang menjabat komisaris sejak 2001. Selama 25 tahun, Nalin berkarier di Grup Bakrie dengan berbagai posisi dan jabatan. Saat ini, menurut situs Bumi, Nalin juga presiden komisaris KPC dan Arutmin. Nalin pernah ditunjuk menjadi CEO Bumi Plc di London, komisaris PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL), dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG). Dua emiten terakhir itu juga berafiliasi dengan Grup Bakrie.