Mohon tunggu...
Tahdi Muhammad
Tahdi Muhammad Mohon Tunggu... Swasta -

sebagai buruh serabutan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar Demokrasi dari Ibu (Untuk Hari Kartini)

21 April 2016   12:42 Diperbarui: 21 April 2016   12:48 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sangat benar ketika ada istilah Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya. Ya, Ibu saya bukanlah seorang yang istimewa, ia hanya Ibu yang sama dengan Ibu2 lainnya, yang selalu mengharapkan yang terbaik bagi anak2nya. Ia hanya seorang penjual telur asin yang merangkap menjadi seorang guru PNS biasa. Bahkan mungkin Ibu saya juga tidak kenal dengan pencetus demokrasi Abraham Lincoln.

Suatu hari obrolan keluarga tercipta ketika seorang anggota keluarga membahas tentang pilkada yang telah dilaksanakan beberapa bulan lalu. Kemudian Ibu saya pun menceritakan tema obrolan yang sama saat berkumpul dengan teman2 seprofesinya. Kata ia banyak yang menyesalkan kenapa calon Bupati yang mereka dukung tidak terpilih? masih tidak bisa menerima dan berlapang dada terhadap Bupati terpilih sekarang, Bupati yang bukan pilihan mereka. Lalu Ibu saya bilang kepada mereka bahwa ia juga tidak memilih Bupati yang sekarang terpilih, bahkan calon Bupati yang dipilih oleh Ibu saya adalah calon Bupati yang sama dengan pilihan teman2 seprofesi tersebut. Namun Ibu saya menegaskan kepada mereka, berarti itulah Bupati/pemimpin yang dikehandaki oleh rakyat kebanyakan. Semua ada aturan main, sistem demokrasi sudah berjalan, keputusan sudah final. Buat apa berkecil(sakit) hati? menyesalkan hal itu  tidak ada ujungnya.

 Hanya membuat diri semakin menjadi pribadi yang pesimis. Mari terima segala akhir proses dengan kerendahan hati. Mari kita dukung pemimpin yang terpilih sekarang. Pemimpin juga membutuhkan kita untuk memabangun masa depan. Maka dari itu mari kembali kepada perannya masing-masing dengan sebaik-baiknya peran. Apa pun peranmu. Yang menjadi guru maka mengajarlah dengan baik, penjual menjadilah penjual yang arif, yang petani menjadilah petani yang baik, olaharagawan maka berolahragalah yang sportif.

Janganlah karena sakit hati lalu kita mengacaukan/menghambat segala apa yang menjadi kewajiban dan tugas pemimpin. Sebab apabila kita menghambatnya, sama saja dengan menghambat kebaikan untuk kita, program dan tugas pemimpin tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Apakah kita masih merasa diuntungkan?

Saya bersyukur walaupun saat itu saya hanya berada di desa, tapi saya mendapatkan pendidikan berdemokrasi melalui obrolan keluarga seperti ini. Seusia ini saya masih diingatkan bagaiamana bersikap terhadap aturan main atau sistem yang telah disepakati bersama. Kadang kita lupa bahwa aturan/sistem yang dibuat adalah buah fikiran dari rakyat itu sendiri, namun kadang kita naif ketika kita tak bisa menerima hasil dari sistem itu, karena pilihan kita bukanlah pilihan mayoritas.

 

Hal mendasar yang saya fahami dari kejadian itu adalah mari “Move on”!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun