Korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan sudah dianggap sebagai permasalahan Internasional. Pemberantasan korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Sebab tindak pidana ini tidak hanya mengakibatkan kerugian negara (keuangan negara), tetapi dapat mengakibatkan dampak yang sangat luas, baik di bidang sosial, ekonomi, keamanan, politik dan budaya. Jika korupsi telah menjadi suatu budaya, maka tindak pidana ini dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas suatu bangsa. Menurut Romli Atmasasmita, korupsi selain berakibat menyengsarakan rakyat, juga merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat. Sedangkan, Muladi menyatakan bahwa korupsi juga merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal ini disebabkan sifat korupsi yang sudah sistimatik, endemik, berakar (ingrained) dan flagrant yang mengakibatkan kerugian finansial dan mental.
Permasalahan korupsi di Indonesia dapat dikatakan sudah dalam taraf yang membahayakan, karena korupsi terjadi hampir di seluruh lapisan, baik di lembaga pemerintah, perwakilan rakyat, peradilan, pengusaha maupun masyarakat.
Selain itu, korupsi juga terjadi di lembaga penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum. Hal ini berarti korupsi memiliki akibat yang sangat luas. Korupsi pada dasarnya adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Hanya mereka yang memiliki kekuasaan yang memiliki peluang yang tinggi untuk melakukan korupsi. Dalam banyak kasus, korupsi kerap melibatkan pejabat tinggi, elit politik dan ekonomi. Situasi ini menyebabkan Kejaksaan atau Kepolisian acapkali tidak bisa leluasa untuk menegakkan hukum. Hal ini dikarenakan dua lembaga ini tidak independen. Selain itu juga terdapatnya korupsi di dalam tubuh kejaksaan dan kepolisian, bahkan jaksa dan polisi yang sebelumnya menangani permasalahan korupsi, pada akhirnya menjadi seorang tersangka korupsi atas kasus yang ditanganinya. Kenyataan ini, pada akhirnya membuat masyarakat tidak percaya terhadap lembaga tersebut.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi, hukuman pidana yang paling ringan adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), sedangkan hukuman pidana yang paling berat adalah paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Tergantung siapa yang melakukan korupsi, bentuk korupsi apa yang dilakukan, berapa jumlah nilai hasil korupsinya.
Berdasarkan ketentuan hukuman pidana tersebut, seolah-olah korupsi ditempatkan sebagai tindak pidana yang lebih ringan daripada pengedar narkotika (heroin) yang hukuman pidana maksimalnya adalah hukuman mati. Padahal korupsi dan narkotika sama-sama hanya menguntungkan si pelaku namun merugikan dan merusak mental masyarakat.
Pada dasarnya hukum ada untuk mengatur sikap tindak anggota masyarakat dengan tujuan mewujudkan keadilan (filosofis), memelihara ketertiban dan kepastian hukum (yuridis) serta melindungi kepentingan umum (sosiologi). Kemudian demi tegaknya aturan-aturan tersebut ditengah masyarakat maka perlu adanya sanksi. Terlepas dari sanksi itu "keras" atau tidak, namun sanksi tetaplah perlu ada.
Salah satu sanksi “keras” dalam hukum itu adalah sanksi hukuman mati. Hukuman mati memang dianggap bertentangan dengan Pasal 28 A dan 28 I UUD 1945, yang secara tegas menjamin hak hidup setiap warga negara.
Harus diakui bahwa dalam prinsip hak-hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah hak yang tak terenggutkan (non-derogable right), tak boleh dicabut dalam keadaan apa pun. Bahkan, negara sebagai pemegang kekuasan pelaksanaan hukum harus menghormati dan melindungi hak untuk hidup (the right to life), menjamin pelaksanaan penegakan hukum yang tak merenggut hak asasi manusia. Namun bagaimana negara dapat melindungi kepentingan umum jika korupsi dilakukan karena ancaman hukuman yang tidak sebanding dengan akibat perbuatan yang dilakukan si koruptor? Mengapa “hak” seringkali menjadi prioritas, padahal “kewajiban”lah yang seharusnya menjadi prioritas.
Hukuman mati dapat diterapkan sebagai strategi penindakan/penghukuman (represif) namun diperlukan juga sebagai strategi pencegahan (preventif). Diharapkan calon pelaku harus berpikir ribuan kali dahulu sebelum melakukan korupsi dengan adanya ancaman hukuman mati..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H