Tiga generasi dalam satu ruang kecil bianglala, tertawa-tawa terkenang ingatan bersama ibunda.
Adakah Purwokerto, Magelang, Yogyakarta, hal tenteram raharja kau damba-damba?
Menerka rindu yang bersemayam. Ingin pulang, ingin pulang.
Melempar puisi, membungkam awan, supaya tangis serupa hujan tiada perlu datang ini hari. Namun awan hanyalah ciptaan. Hanya mengekor jadwal harian.
Sejak acuh bermakna peduli, dia mengingkari segala atensi; mencemburui angin, menyembunyikan ingin.
Hujan, riang kekayaan dalam hamburan. Tangkaplah. Tangkaplah!
Kalau boleh, kalau boleh. Tiada tahu apa nan toreh; hal yang paling dikenang.
Tidakkah ada padamu terbitnya rembulan sebagai spasi perjumpaan?
Memandangi mata yang takjub pada Sang Maha Kuasa, detik mana hendak dicari?
Menguasai keterampilan pada usianya, kanak-kanak memimpin diri, utuh bijaksana.
Katakan yang baik saja, agar kebaikan tiada terduga sampai pada alamat, selamat.
Dia berjanji, adalah dirinya. Dia lunasi, juga dirinya. Kau telah tunggu, lunas pula.
Hidup sepenuh tanggung jawab. Segala detilnya biarlah jadi kejutan. Semangat hidup berucap penuh syukur.
Pada malam radio dinyalakan, hati yang sunyi dia relakan.
Terhenti sebelum tuntas membaca Sitti Nurbaya, apa jadinya?
Rumus telah baku bagi manusia segala waktu. Mintalah: aku ingin sekarang juga!
Selamat memilih, selamat menikmati peristiwa-peristiwa setelah masa pemilihan!
Pantaslah engkau gembira. Tersendiri, katamu, sebuah kesenian baru.
Sehirup pagi, sesesap puisi. Hidup pula berjalan sebagaimana mestinya.
Yang pulang kepada Tuhan dengan membawa rahasia; selamat jalan.