Ranting jiwaku tak dihinggapi nyanyi burung pagi, juga perempuan bulan itu, apalagi kau yang diam telah kehilangan senyum
Besok, kembali aku melanjutkan perjalanan yang tiada pernah kau pahami.
Yang mendekam bisu disudut sunyi, menjadi bayang-bayang saja nampaknya.
Pagi mendatangiku dengan kembang tanpa nama, bertengger pada ujung atas daun telinga kirinya, tersenyum melambai matahari.
Memimpimu aku seperti bercinta. Seperti percintaan kita pada swalayan purba di sela tumpukan barang peradaban, dan kau merengek dibelikan antologi pui
Di tepian senja teronggok cerita cinta pada tarian kaku; sepasang kekasih di bibir dermaga meliukkan birahi
Aku menunggu perempuan di peraduan rindu, setelah semesta melewatkan tujuh purnama pada malam-malam penuh
Gelora ombak memecah batu di ranjangku, mematah batang linggis yang lama berbaring karena mata-Mu kutemu di wajah rembulan
Melafal kata-kata jalan raya, mataku melompat ke bait kosong. kota di tindih matahari tak bercahaya, hanya keringat hitam rembulan yang basah di dindi
Gelap yang kemarin mengunyah rembulan kini mencampakkan bangkainya pada gelombang selimut berwarna merah jambu.
Era modern pun masih menyisahkan derita kaum 'kecil', yang seharusnya, karena kemanusiaan, zaman memberikan rasa hormat kepada manusia seutuhnya.
Embun yang semula aku sendok dari rahim sadarku, kini berubah darah di atas piringku
Rene Descartes, filosof yang membentuk akar peradaban modern.