rembulan padam di atas samudra terkurung mendung sirna cahaya
ketahuilah secercah cahaya itu ialah cinta yang mengalun lembut dari dasar hatimu
kau nyanyikan kidung kepedihan di atas batu karang di bawah purnama yang separuh tertutup awan hitam
pohon berdaun kata-kata tak lagi subur di kepala semusim tanpa cinta kering ranting-rantingnya akar tetap menjalar mencari aliran
hidup adalah pergerakan; kecil lalu membesar kuncup lalu mekar sempit lalu melebar kosong lalu isi tiada lalu ada
sepi adalah lorong waktu menuju pintu-pintu kenangan dan bayangan masa depan. kuketuk satu pintu yang hanya ada kamu, saat kesepian
air mata haru serta bahagia menyatu dalam satu rasa di bawah purnama kita bercengkerama tanpa kata
Dahulu, kita pernah memiliki rumah cinta mungil dan sederhana berhiaskan kemesraan, beratapkan kasih sayang
Terasa tiada jeda jarum waktu berputar begitu cepat begitu rapat dan kita, sampai detik ini masih menjadi manusia yang merugi
lama tak tersentuh kata-kata puisi padam! imajinasi sirna jua.
malam adalah bapak sunyi adalah ibu pada keduanya aku pun mengadu
kebahagiaan kelak akan tumbuh ketika sedih pilu memilih pergi jauh meninggalkan hatimu yang teguh.
Menatap senja magenta dari balik jendela rumah tua, melihat daun-daun berguguran di diembus angin sedang
Semula, hatiku adalah rumah kosong tak berperabot sebelum lalu kau datang membawa lukisan-lukisan indah berkanvaskan cinta
Cinta wangi kemboja diembus silir angin kehampaan semerbak di atas pusara
Pada garis waktu kita dipertemukan, saling sulam menyulam bahasa perasaan
Begitu banyak cinta tapi sedikit orang yang memahami yang benar-benar cinta
namun, dalam keadaan frustrasi ia sempatkan menulis sebaris puisi pada selembar kertas bungkus nasi;
dunia huru-hara semu semata-mata gemerlap sekejap menjebak hasrat kesenangan yang hanya sesaat
Aku menyadari bahwasanya yang benar-benar pergi adalah mereka yang mati (pergi tak kembali lagi)