Mereka bilang, aku orang susah Yang berani-beraninya menantang diri Untuk kuliah
Walau kami telah bisa membeli berkilo-kilo mangga, tapi saat memakannya, takkan pernah lagi kami mendapatkan rasa yang sama saat makan bersama Ibu wak
Entah sudah berapa lama perempuan paruh baya itu menjalani profesi menjadi peminta-minta yang tabah di punggung lampu merah
Semalaman matanya tiada terpejam, Lantaran panas badan anaknya tak kunjung padam
Kelak, kalau rambutnya telah memutih, ia akan mengangkat bendera putih bukan berarti ia menyerah
Kerinduanku mudik membawaku teringat pada tangga kayu rumah. Yang sudah lapuk, menemani masa kecil kami sekeluarga.
Seorang lelaki tua Sedang berjualan di trotoar pinggir jalan Ia terkantuk-kantuk lantaran tiada pelanggan yang mau duduk
Pada segerombolan ikan-ikan Yang berenang di lautan Saya belajar perihal pengaruh lingkungan Meski dibesarkan di lingkungan yang asin
Suatu masa, Ayah melihat iklan di media
Dulu, waktu kalian masih kecil Aku menyukai ikan asin Karena tak mampu beli daging dan kambing
Raga kami di Masjid Sedang Jiwa Entah Kemana
Kau biarkan aku memperlakukanmu dengan cara-cara yang biasa, tapi engkau memilih memperlakukanku dengan cara yang amat luar biasa
Waktu siangpun datang Cacing-cacing di perut sang bocah Mulai menggeliat kelaparan
"Benar katamu, Ibu. Kadang kita diuji, diletakkan di ruang tunggu, menunggu giliran, tuk jadi pemenang"
Rahasia apa yang tersembunyi di sebalik perintah puasa menahan haus dan lapar
Seorang lelaki tertunduk lesu seharian menahan haus dan lapar
Aku memilih berpuasa sambal berpuisi agar kata-kata lebih bermakna dan berharga
Hampir setiap malam, aku harus memeriksa tasmu, hanya untuk memastikan tak ada pensil-pensilmu yang patah
"Katakan saja, kau boleh pergi, tapi..., Untuk kembali, takkan ada lagi cinta dan kasih sayang yang tersedia disini"
Kini, aku tak lagi perlu bertanya. Apakah engkau maunya ini, ataukah maunya itu. Karena semuanya bisa kulihat dengan jelas di lipatan matamu