Seorang yang takut untuk terluka, sehingga menutup rapat hatinya
Ibu adalah kursi tua di sudut ruang tamu Di pundaknya aku bersandar merangkai sunyi dari napas panjangnya
Rindu telah mengeringDigilas masa hingga ke entahSaat aku tak mampu menaklukkan egoTerseok - seok merepih harapDiantara jari tangan yang mengatup
rumah makan itu adalah sisa-sisa ingatan yang telah meredup dari Pantura
Gemetar hati dirayakan,Kerlap-kerlip di tengah keraguan
biarkan hidupku mengalir walau ada rasa yang semakin waktu semakin hari berubah
Di bawah langit malam yang sendu, Bintang gemerlap menari perlahan,
Membeku dalam kerinduan tak bertepi Pagi pagi gerimis bawa suasana syahdu
Hidup itu harus fokus pada tujuan sendiri tidak untuk memikirkan apa yang dikatakan oleh orang lain yang akan membuat pikiran mumet
Terlihat tenang walau luka sering mendarat adalah hal yang tak semua orang bisa lakukan, lantas bagaimana dengan aku?
Bayangkan malam yang sunyi, ketika petikan harpa mengalun lembut di antara angin.
Sirih yang engaku rambatkan di atas batu padang, Bertahan selama itu bersamamu. Kemudian kau renggut akar-akarnya seketika dan kau biarkan
Perjuangan memang tidak mudah, bahagia setelah tuntas.
Sebuah cerita yang entah disebut apa, sebab ia bahkan terlalu singkat untuk disebut cerita.
Kau menentramkanku ketika ku gelisah...Kenapa kau begitu baik...Yah..Karena Dirimu Maha Baik.
Menghabiskan waktu-waktu bersama orang-orang tercinta
Angin berubahlah, pagi menyegarkan. Wajah berseri, angin merayu lembut. Kini kau, bukan lagi seperti angin.
Sendu merajai hati yang tak luput dari sepi dan resah yang terus membara
Karya dari seorang pemula yang berusaha menuangkan idenya dengan keabstrakannya
Dalam kerinduan yang tak tertandingi Alam berbicara dalam bahasa kesedihan Menyuarakan ragu yang mengalun dalam kehampaan