laut tak pernah reda dari ombakkarang tabah terkikis waktuLumut berjuang mendekappada dinding batu.yang entah rebah kemana
Bila sajak ini nanti mati,Tulislah di nisannya"Sajak terlalu lelah mengurak langkah"wafat saat purnamameninggalkan anak kalimatdan diksi***Rembu
Aku tak mengerti dengan bait-bait puisimembingungkan dan memusingkanKecuali aku hanya menyerap sari kopiDi malam sunyi, pada hangat kepulnyaKumasak ka
Buku puisi ini jelas berisi rangkai puisiWalau tak tersusun rapi, puisi tetaplah puisiLahir dari imajinasi dan rasa secangkir kopiSeperti langit, teta
lara langit yang tak kunjung habislingkar teluk samudera yang kau arungbukankah sudah terbiasa kehilangan? karam dan mengapung di laut kelamtiap detik
selamat pagi kopi,kepul asap mengumpul duka yang tumpularoma manis senyum balutan dusta,saripati yang mati tanpa nuraniberita mimpi dinihari**se
Camar letih menitih buih, senja takdir alam ke barat merayap mengenggam harap. Buih mencumbu ombak, nada disandingkan kata miring. Laut tak
di atas "Punclut"pohon rangas itu berkisahpeduli apa burung merpati terbang tinggimenggurat ranting rapuh Lepuhakar masih mencengkeram kenanganyang ta
Celung rindu menadah anginsampaikah kepada-Mu?ah, biar kuserah padasemilir pengiring airyang tiada henti mengalirselayak rezki yang ku mimpidata
Menyimpan misteri malam dalam dera hujan, nyala lentara tiada padam. Fajar menghajar kutiup asa keluar jendela, agar dia menjala
Rizal De LoesieTak baik aku, katakan kau tak baiksebut engkau salah, sementara aku kilafucapkan engkau pembencisedang aku, tak penuh sayangmengh
puisi ini, kutulis sebaityang mengikat seluruh jiwa agar kau tahurangkai kata yang dimaknai senjasaat getir tiba-tiba hadirkutahu, sebait kuat j
Tiga cangkir kopi di meja kayu setengah mati.Mengepul mengejar tarian langit menyusuri bukitSedalam tanjakan "Silaing", bekukan heningGetar getir kabu
Bertabah sebelum rebah. bukanlah kalah. Jiwa mengalah "Pelangi setelah Hujan" kata pepatah. Bukanlah kita menjadi latah, lidah biasa salah
Siang biasa.Angin menghanyut remah kisahdermaga kayu, setengah raguberderak ombak**alir tenang dari ujung muararintik hujan membasah rambu
Ada yang harus kita tanggalkan sebelum tinggalremah waktu yang menjadikan lemahseberapa dalam ceruk jiwa mampu menabur bungapada jurang terjal berbatu
kopi hitam lebat gulita, beralas ketabahan takdirterhempas detak waktu menjadi deret angka almanakselama itu pahit getirnya melumat ujung
Pada setangkup bunga liar perbukitan initelah ku katakan berulang kalidan malam kurapalkan mantra-mantra jinggamengelukan tentu yang maha kuasamenafsi
Dia rebahkan jua lelahnya,Di pohon itu,Sejak petang tadiMengamit canda burung elangYang melayangkan angan**Jauh, terhujam pada bumiYang menarikan luka