Gas pol ke malam, punggung lengket debu dan luka—senja tergigit, remuk di roda waktu.
Pramoedya tidak hanya mendokumentasikan sejarah dan kritik sosial, tetapi juga membangun kesadaran generasi penerus.
Sebuah pertemuan antara waktu dan keputusasaan, di mana setiap detik menyaksikan ketidakselarasan yang tak bisa terobati.
Ketika Tuhan berbisik, tetapi kesadaranku telah tenggelam dalam sunyi yang lebih tua dari waktu.
Puisimu bukan sekadar kata, tapi detak yang mengalir di nadiku.
Aku hilang dalam panggilan yang tak kunjung menemukan jawaban.
Indahnya kasih Tuhan, ketika aku tiba ia berkata, "selamat datang, kekasihku"
Dalam algoritma yang tak mengenal kehilangan, aku mencoba menghapus diriku sendiri.
Aku tersisa dalam kata, mencari yang pernah ada.
Saat langit tak ingat aku, aku tetap mencari kehadiranmu di ruang yang tak pernah tercipta.
Keabadian tak terukur dalam detik, namun tercipta dalam setiap bisikan jiwa.
Di ujung luka dan kesunyian, cinta menjelma—membebaskan atau menjinakkan?
Di antara langit dan laut, ada jarak yang tak pernah benar-benar biru—hanya ilusi yang menolak untuk dimiliki.
Di antara kekosongan dan cahaya, sebuah jejak tanpa bentuk mengarungi waktu yang tak terdefinisi.
Di labirin absurditas, kata-kata terjebak dalam usus buntu dunia.
Gerakan #SeAbadPram menandai peringatan 100 tahun Pramudya Ananta Toer, seorang sastrawan dengan talenta kepenulisan yang luar biasa.
Di pasar cinta, emosi teraduk seperti adonan, menyuguhkan menu rasa yang mengenyangkan jiwa.
Sapardi Djoko Damono, penyair yang tak pernah berhenti menulis
Dalam sunyi dan jejak kata, puisi ini mengajak kita mendaki puncak absurditas, mencari arti di balik waktu dan takdir.