Airnya mengalir deras, menutup semua celah, mengisi semua kubangan yang telah la mengering
Puisi berjudul Tak Ada yang Mengira. Aku tak mengira kita saling menyalahkan, padahal diri sendiri selalu saja menduga yang tak pasti.
Hampir saja aku terlelap Setelah Oktober berpamitan semalam Aku pikir tak ada lagi janji atau risalah esok hari
Di tanah air, kongres t'lah tiba Puncak kebudayaan bangsa yang sejahtera Bersatu dalam bahasa, satu cinta kita Kongres bahasa, bersama, kita beraura
Kongres ini mengajar kita tentang persatuan, Bahwa bahasa adalah jembatan, bukan tembok pemisah.
Apakah harapan itu benar, ketika manusia bertemu hantu musim panas di malam terik?
Di bawah sinar matahari tropis yang hangat, Di negeri Nusantara, suatu tempat yang akrab
kunamakan lah kongres bahasa: tempat orang orang mengajariku berbicara & berdebat
Kongres bahasa berwarna pelangi Seperti bunga yang bersemi di pagi Kita berkumpul, merangkai kata-kata Dalam bahasa, tumbuh harmoni yang merdu
Di tanah air yang megah berdiri, Bahasa Indonesia, warisan agung
Di tanah air yang luas dan indah, Kongres Bahasa Indonesia, tumpuan kita.
bulan merayu malam bintang berkedip, Aku di sini hanya menunggu ramalan
Mata tidak boleh mengantuk. Karena kereta akan tiba. Tak perlu menunggu lama, bunyi peluit terdengar nyata. Ada yang datang dari utara.
Mereka menyalahkan orang yang terlalu melampaui batas
basa-basi, basi!"Hai!""Sudah makan?""Mari makan!""Anakmu lucu.""Kamu cantik, bet.""Aku suka warna dressmu, lucuk!"bla ... bla ... bla ... and bla!
maka, keringlah rahim ibu (pertiwi)
setelahnya kubiarkankesepakatan reda;dengan gulungan rupiahdi ujung jemari-- sisa-sisa kecupan ikandan gumulan sagu
Budayakan Berbahasa Indonesia Lestarikan bahasa daerah Kuasai bahasa asing