Ku melintasi semak-semak tanah basah, Kembali berdiri gagah untuk menemukan arah
Kita semua tanpa peringatan pun sudah menjadi bagian dari qaumam buran atau kaum yang binasa
2045 sangat mungkin negeri ini mengalami kejayaan di berbagai bidang, termasuk ekonomi. Tapi negeri lainnya sangat mungkin juga lebih jaya.
Kalau perang itu sendiri identik dengan genjatan sejata, apakah perang itu masih ada sekarang?
Keindahan acapkali membuat diri terbuai Jawaban yang terdengar hanya kata santai
Kita sudah sering melewati banyak malam, dan juga banyak menyambut fajar di pagi hari. Lantas, kenapa masih "kemrungsung"?
Dari sekian banyak "produsen", mengapa hanya petani yang tidak bisa menentukan sendiri harga hasil produksinya?
Kita ibarat wayang yang digerakkan oleh seorang dalang tunggal (read: Tuhan), lantas apakah kita lantas tidak memiliki atau memilih peran?
Hai, sudahkah lebih baik hari ini? Ada cerita apa hari ini? Apakah masih memikirkan kisah lalu yanbug masih membekas dihatimu?
Ketahuilah esok mentari kan mengubur sepi
Sudah berpa banyak kita terlalu sibuk akan hal-hal yang menurut kita baik, sedangkan di saat yang sama kita lalai untuk meminta ampunan.
Semua itu pada akhirnya banyak menyiratkan kabar-kabar baik yang menggembirakan, kabar yang banyak tersirat dalam banyak perumpamaan.
Bagaimana sesuatu bisa dikatakan cinta kalau rasa itu akan goyah oleh karena suatu perubahan?
Bias hampanya perjalanan yang telah usai memberi banyak pelajaran yang mengisyaratkan berjuta kenikmatan
gambaran perjuangan seorang cah angon, yang juga membutuhkan mentalitas untuk bisa menapaki segala bentuk lingkungan sekaligus cuacanya.
Puisi tentang kerinduan yang selalu kembali, meski membosankan.
Superhero atau wali? Suatu kebiasaan memuja tanpa berani memilih sikap kemandirian untuk setidaknya belajar bertanggung jawab kepada diri sendiri.
malam-malam banyak mengajarkan ketangguhan dan cara bertahan yang hanya engkau sendiri yang mengetahui jalan terbaik
ketika engkau membuat orang lain juga lebih tidak tepat dalam melihat dirimu. Tidakkah engkau mulai lelah sebagai “aku”?