Aku menyebuMu EngkauSebab namaMu tertera di rahim KudusYang tersurat oleh injil penebuswujudMu mati di langit yang tersungkurEngkau, yang tertel
Bumi ini telah sakit jiwanyaPenuh sindir berlumuran sirikSeperti petir yang cemburu jatuhnya gerimisLalu wajahnya serupa iblis sedang mendesihBumi ini
Dia telah kembali kepada singgasanaHaribaan yang menjadi petiduran malamTanpa berpamitpun jua dia akan datangMenandangi besok  
Seakan kota di tubuhmu ambruk petakaRuntuh sekejap alam pikirmu diruas sederhanaLalu kau mainkan api dibalik derau hujan telah lesapAdalah aku y
Aku mendedah hariDengan sekuntum bulur merendai nasibTerpasung oleh zaman yang entah basiYang perih tersayat sembilu menggigilDengan
Bagai gugur sehelai daun teruntai melayangTerpeluk tanah basah , melinangkan gerimis malangMeruah di tembok dan tebing yang bengis durhaka
Jalanan telah sepah , disepak kaum pejalanMemulung bias purnama yang pergi sewaktu gerhanaOrang – orang berujar serupa memakan manusiaSaling hujat dan
Menuggu fajar mekar ditilam surya pagi yang rekahDibangku tua sepi aku menderik tubuh dengan rebahSambil menanak sisa embun semalam yang hampir keriti
Tanah ini telah keringOleh darah dan air matamuTulang belulangmu telah leburMenjadi kaki kita berpijakEngkau telah meneroka jalan iniMenja
Mereka sudah usai berkerumunSeharian menggegap gempita laksana gemuruh gurunLangit – langit tuhan seakan mau runtuh terhamburGedung – gedung menjulang
Almanak dinding menanggalkan hari ituMemperadabkaan sebuah gejolak hatiGemuruh mendada – dada, dengan tarianIrama yang terkungkung,
Perempuan berbidang lapangMenanak waktu di pucuk-pucuk hariDengan tungku memoles wajahnyaSelembar jiwanya jauh tertinggal kenanganDi kampung hal
Binar ufuk pagi bermadah, lenting di kuncup cakrawalaMalam melipat esok dengan setangkup hari yang terziarahUntuk setiap pejalan kaki yang lesu
Kemarin telah ditaburi benih benihPada setaman hati yang gemuruh badaiMusim tidak lagi sepakat menjadi basiMusim pun tak mau gugur t
Langit serasa runtuh. Mengapa tidak.! Hanya ada dua pilihan. Apakah mati sebagai lelaki yang menggenapi kodrat Ilahi, ataukah hidup dalam kubang
Aku, tersingkir jatuh dan kalahDari sebuah perih yang kubangun dan kutanakTak bisa menadah atas kehilanganku iniSebab jemariku masih bergelayut
Airmata telah gerimisDi bibir bibir perempuan tepian vas bungaYang engkau taburi waktu pagi dengan benih benih cintamuTetapi senja merubah menja
Malam telah dihantar sebongkah senjaCahaya mentaripun lindap meraibPupus dalam gulita yang tertangkupLikat hati sang penabur aroma kebencianMasih sepe
Aku yang berdiri di atas tulang belulang negeriDan duduk bersama ilalang yang terhimpit diantara belukarMeresapi ngilu perih tertikam duri
Di bangku tua ini, sesaat menikung lembaran hariYang tergores wajahmu kala engkau merupa dewaHingga saatnya engkau duduk di pucukpucuk tunas negeriYan