Terima kasih pada puisi yang lalu,Kisahnya abadi dalam kalbu,Tiga puluh tahun
Hingga aku mati tanpa pemakaman, Kematian hati yang beku, Tanpa darah dan air mata yang tumpah di celah-celah ujung mata
Maka aku berharap ada damai di jiwaku, Namun jika puisimu engkau tulis sampai kata mati, Maka putus asa akan menyelimuti hati dan jiwaku
Sebagai curahan hati dari seorang penyair, Sungguh derita tak pernah berakhir, Sebelum nyawa ini, Kembali kepadaNya
Esok atau lusa, Seluruh puisimu, kan kubakar tak tersisa
Sampai aku lupa bagaimana caraku untuk mencintaimu
Karena dari tulisan puisimu yang penuh tawa, Tersimpan aliran air mata yang memenuhi ruang harapanmu
Jatuh cinta akan sebuah kata dan aksara, Kata dan aksara yang engkau ukir selaksa pelangi di sore hari
Saat persembahan indahku tak berbalas Kudiamkan saja saat kau melintas Tak kuduga kau berpuisi spontanitas: "Andaikan sepasang burung dalam sangkar e
Merangkai kata penuh makna. Tak sekedar tatanan diksi berirama. Menyayat hati yang luka, menghanyut gembira insan pembaca. Mengaduk-aduk jiwa da
hari berlalu kian laju waktu kian cepat memakan usia diri ku sadari kian sempit pijakan waktu ku untuk meniti segala yang terbaik dalam hidup untuk ku
siapakah yang datang mengetuk pintu hatiku? ia muncul dari serangkai kata-katamu yang kubaca sebuah puisi, sebuah nyanyian dari alam rohaniah kelebat
aku, kamu, dan puisimu Kamu bersedia menggamit lelahku, mencumbunya berkata, "Masih banyak waktu untukku tahu tentang surga" melayang rasa-ra