Sekarang aku bernyanyi keras, laguku liar, penuh luka dan api, tapi aku bernapas.
Nenek menjinjing perut besarnya, menyusuri rel kereta di Manggarai.
Hari-hari membara lebih cepat dari air yang mendidih.
Aku menyajikan buncis yang sederhana: tanpa hiasan, tanpa klaim besar.
Pada akhirnya, semua hal yang tak terucap adalah nama yang terlambat dipanggil.
Mungkin nanti, aku akan menjadi tukang pos di sini: mengantar surat dari kuburan ke kuburan.
Di pemakaman tanpa batu nisan, seorang gadis kecil menanam bunga plastik.
Di akhir dunia yang dijanjikan, garam mencair di mata seorang nabi.
Mungkin, pada akhirnya, lapisan-lapisan ini hanyalah cerita yang kutenun sendiri.
Di antara semua lapisan; aku berdiri, mencoba membaca keindahan, seperti membaca surat cinta lama
Tidak ada embun di pohon-pohon tandus, hanya doa yang tak pernah tahu kepada siapa akan dikirimkan.
Di sudut malam, mereka berbisik, “Besok akan tiba, tenanglah.”
Jakarta, seperti mesin fotokopi yang kelelahan, mencetak ulang langkah kaki.
Aku berdiri diam, menjadi pohon di tepian rimba, di mana angin membawa aroma damar dan burung-burung menyulam nyanyian.
Bar itu buka sejak zaman Belanda, dulu ruang kelas dengan papan tulis bisu.
Di bawah bulan tembaga, kita akan mengenang tarian mereka, di atas tanah yang sudah berubah.
Kita adalah dua pengelana di labirin ini, mengikuti jejak cahaya yang kita ciptakan sendiri.
Aku mendengar mereka, suara yang memotong angin seperti pedang tipis, memanggil dari kejauhan, di luar batas sungai dan rumah-rumah tua ini.
Ini rumah baru, katanya. Tapi apa artinya baru, jika semua kenangan tetap tinggal?
Apa pun yang patah, suatu hari akan merekat.