Jalan Sudirman, kilauan basah di bawah lampu jalan, seperti genangan air mata tua yang tak mengering.
“Mungkin ini bukan soal gangguan,” katamu, “mungkin ini cuma caranya kota ini bernapas."
Semua ini untukmu. Untuk yang bahkan tidak tahu bahwa tarikan bumi punya nama: Namamu.
Taman Gorky terbentang, tempat di mana para pecinta bersembunyi di bawah bayang-bayang patung Lenin yang lelah.
Dan di permukaan, segala yang kau tinggalkan hanyalah riak kecil: hilang bersama perjalanan waktu yang sibuknya sama seperti kematian
Apa yang akan kukatakan kepada kesedihan, jika ia datang mengetuk pintu?
Malam ini, hanya kita yang mengerti, keheningan yang lebih berbicara daripada suara.
Langit Bandung berpendar lampu jalan, tapi tak ada cahaya yang bisa menembus bayangan di dadaku.
Tapi bagaimana jika menjadi tidak ada adalah kelegaan? Seperti air yang menguap, menghilang tapi tak benar-benar hilang.
Kata-kata itu seperti perlawanan kecil, seperti bunga liar yang tumbuh di celah beton.
Aku merasa seperti tahu lebih sedikit tentang hidup dibandingkan mereka yang meninggalkan tulisan kaki di pinggirnya.
Aku meninggalkan kafe, membawa pertanyaan yang lebih tua dari pagi ini.
Mungkin karena kita terlalu takut mati, hingga memilih tetap terjaga, melawan waktu.
dan lupa bahwa kita juga serpihan cahaya yang pernah terlempar jauh dari ledakan awal.
Angin malam membawa suara kembang api, meledak di udara seperti petir yang terlalu lelah mengancam.
Seseorang bertanya, di mana cahaya yang dulu tinggi di bukit itu?
Rambut ibu terus tumbuh, menutupi bahunya, seperti akar pohon mencari tanah di trotoar.
Di Bundaran HI, air menari, melingkari patung Selamat Datang.
Di bus kota yang berderit, seorang gadis muda memutar video Shah Rukh Khan.
Di sini, putus asa adalah ruang kosong, bukan monster yang mengintai.