Menyapa yang tak terlihat mataMenyapa melalui kertas dan tintaDalam gelap dan dingin malam ku tuliskan tentangnya, Mencurahkan rasa dalam bait kata
Yang aku baca kini bukanlah sebuah puisi, Tidak akan ada kalimat puitis yang kalian dengar, Tidak aku tulis kalimat simetris
Dibalik hasrat menyapa, iringan rindu itu kian ada
Begitu tergesa engkau melambaikan tangan. Sementara aku masih ingin duduk lebih lama lagi, bersamamu
Tedhak siten sajak-sajak yang kurangkai, yang hingga kini belum fasih bicara dan berdiri
Pesonamu telah terlanjur menguasai hati dan tak jua mampu terhentiMungkin hingga mati
Salam Rindu untuk Ibu (Ilustrasi : Dokpri MomAbel) Salam Rindu untuk IbuMencarimu,yang tak akan pernah bertemurindu ini sungguh terlalumenghias
Cinta, ia lebih mirip daimyo yang berkuasa atas dua titah; hunus pedang!, atau jangan segan menciptakan air mata
Jendelanya yang terbuka tanpa tirai kerap bertanya risau, "Ini hari apa? Mengapa angin yang berembus masih menebarkan aroma itu-itu juga?"
Sering dalam sebuah hukuman kau suarakan nilai-nilai kehidupanNilai-nilai yang harus kami pegang untuk menjadikan kami manusia seutuhnya
Kecuali gincu yang kadaluwarsa dan remah rindu yang kehilangan aromanya
Di depan surau yang sebagian dindingnya mulai retak, lelaki tua berdiri sempoyongan menenggak sebotol arak
Di pelukmu yang hangat aku pernah tertidur begitu lelap, melerai rindu yang bertikai dengan waktu sedemikian hebat
Aku sudah lupa, terbuat dari apa ranjang pengantin yang pernah kita tiduri
Para pemburu cinta. Kadang berlari ke sana ke mari tak tentu arah
Aku mencarimu di sela-sela bulir hujan yang berebut jatuh
Melupakan hal-hal yang pernah kita percaya namun berlaku ingkar dan khianat
Bibirmu yang pasi bergumam pelan, "Tuhan, apakah aku sedang berada di ambang kematian?"
Duhai hati, jika rindu masih juga belum mampu kaujinakkan, mari kita duduk di tepi pantai barang sesaat
Inti puisi ini mengisahkan dua orang yang terpisah oleh jarak dan waktu, yang membuat rindu tertanam didalam diri.