Puisi Pendek 1001 Hari - Hari ke-82 Sepi telah menggila Menjadi hahaha
suka telah menjadi dukamanakala luka terbuka di mukadisirami cuka
Tak ada yang lebih nyata ketimbang masa laluTak ada yang lebih tiada ketimbang masa laluKarenanya, akan kembali kita ke rumah yang dulu
kali ini puisi terkekeh-kekeh membaca napak tilas kota-kota
Tak kan aku tumbang, meski aku engkau abaikanTak lah aku melayang, meski kepadaku kaubilang sayangAsalkan engkau, bukan engkau dalam kenangan
Aku selalu menyukai hujanYang di dalamnya ada tersimpanIngatan tentang engkau yang kin menjadi malamTetapi hujan semacam itu tak sampai ke petang
Aku tak punya alasan untuk mencintaimuTetapi aku mencintaimuBerbaris alasanku untuk membencimuTetapi aku tak membencimu
Meski peta sudah di tangan, tiada jaminan sampai ke tujuan
Sekapur sirih seulas pinang, cinta yang perih terus membangkang
Kalau matahari bersinar, biarlah sinarnya menghangatkanKalau hujan turun mencecar, biarlah airnya menyejukkanKalau kau atau aku tersasar, biarlah rind
Kalaulah memang telah sampai pemahaman. Bahwa setiap hari datang untuk mendekatkan kematian
Puisi, kembali meratapi kehidupan, di sana, nun jauh di sana...
Padahal sejatinya aku hanya perlu segelas air hangatTetapi yang kuburu malah secangkir kopi pekatMungkin itu sebab hidup jadi menjelimpat
Ah, puisi masih merasakan kesedihan yang entah....
Dalam kehidupan yang membelukar ituKurasa persoalannya hanyalah satuSeberapa murni aku mempercayaiMu
Kutemani malam yang gelisah dan berisik Dengan secangkir teh dan sebutir pil analgesik
Mengapa puisi kembali memungut kata-kata yang lelap di bukit Brahma?...
Spontan kulihat ribuan laron mati dalam bahagia yang semu
Wajahnya seperti mentari di ufuk timur, Memberi hangat pada dinginnya malam, Seperti akar yang kuat menopang pohon kehidupan.
Rambut yang memutih, saksi bisu perjalanan, Keriput di wajah, peta kasih dan pengorbanan. Di setiap kerutnya, terukir doa dan asa.