Sebuah sajak aktual dari sudut pandang anak tentang vaksin booster
Penduduk negriku meringkik. Perih mendera tercabik-cabik
Untuk saat ini, keikhlasan dari sebuah kesalahan adalah bentuk kekacauan dari sebuah pandangan yang menuntut kita berada dalam ketakutan.
Sebuah puisi isi hati di tengah pandemi. Seolah memenjarakan segala rasa dalam jeruji waktuIngin bersua namun tak kunjung tiba masa.
Bisu bukan berarti tuli dan tuli bukan berarti buta. Meski buta bukan berarti tak berguna.
Puisi yang diilhami oleh berita kematian yang bertubi-tubi.
Puisi ini ditulis dalam bahasa yang penuh dengan kerendahan hati menyikapi virus Corona yang belum hilang dalam beberapa tahun terakhir. Kita tegar
Seuntai puisi untuk siapa pun yang merasa sendirian di tengah kesulitan dan pandemi. Harapan tak boleh berhenti.
Puisi tentang kebingungan manusia menghadapi pandemi Covid-19
Puisi tentang pandemi yang menyisakan lelah dan hati kian terbelah.
Kini kala buku-buku sudah di genggamanTak perlu lagi menjadi gundah gulanaSejauh tangan terarah meraihnya
Keresahan kami selama pandemi, kami ungkapkan lewat bait-bait puisi ini
Jangan cemas, kita akan bernyanyi lagi anakku.
Satu demi satu kabar menghampiri, mereka yang tak akan kembali.
Corona membawa pesan untuk menghindari virusnya, antar manusia harus ada jaraknya dan waspada terhadap para pendatang luar wilayahnya
Saatnya untuk berhenti berdebat, kita telah kehilangan banyak sahabat
Melihat dari dalam, terlihat taman diam. Ketika mengunci diri, tampak taman sepi.
Bumi lebih nelangsa dan piatu di mana ibukota lebih kejam dari ibu tiri kerusakan paling parah di muka bumi direncanakan oleh bengis orang kota
Betapa Corona berkuasa melebihi para raja, beragam fasilitas dunia dijarah tak tersisa