Demikian sepotong hari yang cerah untuk jiwa yang lelah. Biasanya tidak akan lama.
Puisi "Malam Yang Berisik" mengajak kita merenungi keindahan dan kesedihan yang tersembunyi dalam malam yang tak pernah benar-benar diam.
Aku berjalan mengikuti jejak yang terukir di atas pasir.
Kita adalah kapten jiwa kita. Kapal kita tidak selamanya berlayar di laut teduh dan tenang.
Apakah cinta tiba setelah menempuh purnama demi purnama? ataukah cinta jatuh seperti kelebat kilatyang membelah langit malam?
Orang-orang yang kecewa dengan kehidupan sedang berenang di dalam cangkir-cangkir kopi hitam.
malam yang menyapa tubuh dengan dinginya seakan memberikan kabar waktu tidur telah tiba. Tempat kita bertemu mimpi dalam sanubari sunyi
Luar biasa! Setiap kali seorang datang membawa dan menyusun batu bata miliknya, semakin sempurnalah bentuk rumah itu.
Wajah orang muda di balik jeruji besi bonyok tidak beraturan. Entah sudah berapa punggung tangan serdadu yang mampir di situ.
Langit memang sedang mendung tapi ada hati yang sedang cerah-cerahnya.
Cincin yang mestinya melingkar di jari manisnya kini tiada lagi.
Puisi Permata itu sungguh berarti Namun keindahannya tak bisa dikuasai
Hari ini, Yesus tidak jadi naik ke surga padahal dia sudah memakai celana baru yang dijahit Maria, ibunya.
Lapangan rumput nampak berbeda malam ini. Hijaunya lebih merona, lebih membisikkan harapan.
Pelan-pelan tirai malam terangkat oleh tangan-tangan tidak kasat mata.
Kita bedua duduk di tepi meja makan, membuka tudung saji di tengah. Kosong. Tidak ada apa-apa.
Udara berbau karbon, sumpah serapah pemilik kendaraan yang bersenggolan, kemacetan, kembali di depan mata.
Kau menengadah menatap aksa bintang yang jauh di atas kepala.
Waktu yang melaju. Tinggalkan detik-detik berlalu.
Lalu apa yang kamu cari? Apakah parade burung-burung camar yang berarak pulang,